MILLENNIUM dan ZIONISME KRISTEN

TERAS KECERDASAN MANUSIA PENCIPTAAN  MANDAT DARI TUHAN ALLAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP MEMULIS JURNAL MASA DEPAN MANUSIA PERGAULAN-PERSAHABATAN PACARAN dan PERTUNANGAN PERKAWINAN   UU NO 1 TAHUN 1974 KELUARGA  KRISTEN TANGGUNGJAWAB ANGGOTA KELUARGA PERCERAIAN ZIONISME KRISTEN ARAB PRA-ISLAM GURU SEBAGAI KONSELOR SYLABUS MK AGAMA TUGAS DAN PANGGILAN GEREJA FONDASI PENDIDIKAN KRISTEN TAHAP PERKEMBANGAN IMAN



how to track websites
Free Website Translator
 

KARYA INI hanya bisa diakses atau Copas setelah

  1. Kirim Pesan WA ke +62 81 81 26 858
  2. Transfer Rp 50.000.-
  3. Bank BCA No 421 030 10 68
  4. a/n Jappy M Pellokila

 

 

MILLENNIUM dan ZIONISME KRISTEN 

 

1. MILLENNIUM

Millenium berasal dari bahasa Latin "millennium" artinya "seribu tahun"; dari "mille" (seribu) dan "annus" (tahun). Dalam Wahyu 20:1-10, "Millennium" (Yunani: "khilia" = seribu; "etē" = tahun) menunjuk pada masa pemerintahan Kristus selama seribu tahun di akhir zaman.

"Millennialisme" adalah pandangan atau ajaran tentang Millennium: bagaimana Millennium harus ditafsirkan, secara literalistik, harfiah, ataukah secara figuratif; apa yang menjadi isinya, dan bagaimana ini berkaitan dengan kedatangan Kristus kembali ke bumi (parousia). Millennialisme adalah pilihan dari antara pilihan-pilihan lain dalam ajaran gereja tentang akhir zaman, eskatologi (Yunani: "eskhatos" = akhir, ujung, hal-hal terakhir; dan "logos" = uraian, ajaran, pandangan, argumen).

Millennialisme dibangun berdasarkan Wahyu 20, dengan memperhatikan sastra-sastra eskatologis apokaliptis (Yunani: "apokalipsis" = wahyu; penyingkapan ilahi), dalam Alkitab, misalnya ucapan-ucapan para nabi PL yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa "di masa depan", Kitab Daniel, dan Markus 13 (dan paralelnya Matius 24 dan Lukas 21). Ada tiga penafsiran Millennium a) Pra-millennialisme; b) Pasca-millennialisme; c) A-millennialisme.

 

2. PRA-MILLENNIALISME

 

Dari ketiga pandangan Millennium itu, pra-millennialisme yang paling literalistik dan material. Sesuai dengan namanya, pra-millennialisme menegaskan bahwa kedatangan Yesus Kristus kembali ke bumi akan mendahului ("pra-") masa Millennium.

Menurut pandangan ini, Millennium, yaitu pemerintahan Yesus Kristus selama seribu tahun (1000 x 365 hari), nantinya akan berlangsung di bumi, dengan pusat pemerintahannya di kota Yerusalem, di Negara Israel. Millennium adalah pertama-tama penggenapan atau pemenuhan dari seluruh karya dan janji Allah yang ditujukan kepada umat pilihan-Nya yang abadi, bangsa Israel; dan melalui pemerintahan millennial Yahudi ini berkat-berkat Allah akan sampai ke seluruh muka bumi.     

Para pra-millennialist (penganut pra-millennialisme), berpandangan bahwa karya Allah dalam sejarah dunia dan umat manusia berlangsung progresif, gradual, dalam tahapan-tahapan atau zaman-zaman, dari zaman yang satu ke zaman yang lainnya, terus bergerak maju, sampai pada tibanya Millennium sebagai zaman penutup. Skema kronologis teologis-historis ini dikenal dengan nama dispensasionalisme. Oleh kalangan Kristen evangelikal dan fundamentalis, pra-millennialisme ditempatkan dalam bingkai dispensasionalisme, dan ini melahirkan pandangan yang disebut dispensasionalisme pra-millennial, yang memuat sekaligus teologi dan politik Zionis Kristen, yaitu teologi dan politik keberpihakan "Kristen Barat" (evangelikal fundamentalis) secara total, menyeluruh, dalam segala hal, terhadap Negara Israel Modern (berdiri 14 Mei 1948) dalam percaturan politik dan militer di Timur Tengah. 

      

2.1 Dispensasionalisme Pra-millennial

 Dalam tradisi alkitabiah Yahudi-Kristen, suatu penafsiran teologis sistimatis terhadap karya Allah dalam sejarah dunia dan umat manusia, dari Penciptaan, lalu zaman Adam dan Hawa hingga masa Millennium, yang paling berpengaruh di dalam aliran-aliran fundamentalisme dan evangelikalisme Kristen dikenal sebagai dispensasionalisme pra-millennial.

Kata Latin "dispensatio" (Yunani: oikonomia) berarti "pembagian", "pembabakan", atau "pengelolaan" atau "pengaturan." Dengan demikian, "dispensasionalisme" adalah suatu tafsiran teologis sistimatis tentang tata pengaturan atau karya penyelenggaraan (= ekonomi) Allah atas sejarah manusia dan dunia yang dilihat berlangsung kronologis progresif, maju ke muka, dalam tujuh tahapan zaman-zaman yang sudah tetap dan tidak bisa dibatalkan, yang satu sama lain berbeda, dengan kepenuhannya dialami dalam zaman atau dispensasi terakhir, Millennium.

Dua nama, pendeta Edward Irving (Inggris) dan, khususnya, pendeta John Nelson Darby (dari Gereja Irlandia, salah satu denominasi Gereja Anglikan, dan pendiri Plymouth Brethren), dipandang sebagai bapak-bapak penggagas dan penyebar perdana doktrin dispensasionalisme pra-millennial. Keduanya sangat aktif mengkotbahkan dispensasionalisme pra-millennial pada 1824-1833 di Inggris dan Irlandia.

Sejak 1862 John N. Darby banyak berkunjung ke Amerika Utara; dalam kurun waktu 25 tahun ia telah mengadakan tujuh perjalanan propaganda. Selama perkunjungannya di Amerika, ia berhasil menanamkan pengaruh kepada para pemimpin evangelikalisme Amerika, antara lain James H. Brookes, Arno Gaebelein, Dwight L. Moody, William E. Blackstone, dan Cyrus Ingerson Scofield. Gagasan-gagasan dispensasionalisme Darby juga telah mendorong tumbuhnya sekolah-sekolah Alkitab dan konferensi-konferensi tentang penggenapan "nubuat para nabi", mula-mula di kalangan evangelikalisme, lalu juga di dalam fundamentalisme Amerika Serikat, antara 1875 dan 1920.

William E. Blackstone (1841-1935), menerima pengaruh kuat doktrin dispensasionalisme pra-millennial John N. Darby, menjadi salah seorang Zionis Kristen pertama di Amerika yang gigih selama puluhan tahun memperjuangkan kepentingan bangsa Yahudi. Sebagai seorang pekabar Injil dan pekerja awam Gereja Episkopal Methodis, dan pendiri American Messianic Fellowship International (1887), Blackstone telah menulis buku berjudul  Jesus Is Coming (terbit 1887; sampai 1927 telah diterjemahkan ke dalam enam puluh bahasa). Di dalam bukunya, ia menegaskan bahwa orang-orang Yahudi memiliki hak-hak alkitabiah atas tanah Palestina dan mereka akan segera menempati kembali tanah itu.

Bagi Blackstone, munculnya gerakan Zionisme (tentang ini, lihat di bawah) adalah suatu "tanda" bahwa Kristus akan segera datang kembali. Ia juga menekankan bahwa orang-orang Kristen Zionis harus tidak lagi menuntut pertobatan semua orang Yahudi, masuk Kristen, sebagai persiapan pemulihan hak-hak Israel atas bumi Palestina, melainkan harus membantu dan membuka jalan tanpa pamrih apa pun untuk bangsa Yahudi Diaspora (= dalam perserakan di kawasan Eropa) memiliki kembali tanah mereka yang pada waktu itu sedang didiami bangsa Arab-Palestina.

Antara tahun 1908 dan 1917, buku Blackstone tentang kedatangan kembali Kristus dan restorasi atau pemulihan hak-hak bangsa Yahudi ini telah dicetak ulang berkali-kali dan makin populer, dan menjadi buku yang paling luas pembacanya di abad ke-20 sampai diterbitkannya buku-buku dan novel-novel sangat laris sejenis, karangan dua orang Kristen (ultra-) fundamentalis dispensasionalis Amerika masa kini: Hal Lindsey, The Late Great Planet Earth (1970; sampai 2003, buku ini diklaim telah terjual 18 juta kopi dalam bahasa Inggris), dan serial fiksi atau novel teologis Tim LaHaye, Left Behind (sejak 1995; sampai tahun 2003 serial ini diklaim telah terjual melebihi 32 juta kopi). Fiksi-fiksi serial Left Behind, misalnya novel eskatologis apokaliptis mutakhir Glorious Appearing (ditulis Tim LaHaye dan Jerry B. Jenkins), menampilkan bukan Yesus yang cinta damai dan anti-kekerasan, yang mengajar dengan perumpamaan-perumpamaan dan bergaul dengan rakyat kecil, melainkan Yesus yang berotot kuat (seperti Schwarzenegger), berwajah keras dan haus darah, Yesus sebagai juru tempur (warrior) yang tangguh dan hakim yang kejam, ganas, agresif, tidak kenal belas kasih, yang membunuh lawan-lawannya dengan ucapan-ucapan mulutnya, ketika ia, pada waktu kedatangan-nya kembali, melakukan pembalasan dendam dan menumpahkan murkanya atas dunia dan para pemimpinnya yang tidak percaya.

Terdapat paralel yang kuat antara citra George W. Bush sebagai the war President, yang (pada mulanya sangat) yakin akan adanya maksud ilahi di balik penyerangan Amerika terhadap Afghanistan dan Irak, citra Negara Israel yang karena dirongrong terus menjadi murka terhadap bangsa Arab-Palestina, dan citra the warrior Jesus dalam novel-novel atau fiksi-fiksi eskatologis dispensasionalis yang dihasilkan orang-orang Kristen evangelikal fundamentalis dewasa ini seperti LaHaye dan Jenkins.

2.1.1 Scofield Reference Bible

Oleh C. I. Scofield (lahir 19 Agustus 1843), melalui karya anotasinya (pemberian catatan-catatan tafsiran dan referensi silang teks-teks) atas Alkitab, Scofield Reference Bible (diterbitkan Oxford University Press pada 1909), pandangan-pandangan pra-millennialisme dispensasional John N. Darby dibawa masuk ke dalam, dan diterima secara umum oleh, evangelikalisme arus utama dan fundamentalisme Protestan Amerika.

Scofield Reference Bible kini telah menjadi Alkitab kaum fundamentalis Kristen. Seorang murid Scofield yang paling berpengaruh, Lewis Sperry Chafer, pada tahun 1924 mendirikan Dallas Theological Seminary, sebuah perguruan tinggi teologi di Amerika yang kuat membela, memakai dan mempertahankan dispensasionalisme pra-millenialis dan Scofield Reference Bible, serta memperjuangkan kepentingan Zionisme, terutama melalui tulisan-tulisan Charles Ryrie dan John Walvoord. 

Scofield adalah seorang sistimatikus yang membagi sejarah karya Allah dalam dunia ke dalam tujuh dispensasi. Sebagai suatu "proof-text" (teks-bukti)  untuk membenarkan langkahnya "membagi" sejarah pekerjaan Allah dalam zaman-zaman, Scofield memakai teks 2 Timotius 2:15, yang dalam pandangan Scofield, mengikuti terjemahan John N. Darby, berbunyi,

"..., rightly dividing the word of truth" ("membagi dengan benar firman kebenaran"). Untuk teks ini, khususnya kata Yunani orthotomeō, terjemahan ekumenis NRSV (the New Revised Standard Version) lain bunyinya: "..., rightly explaining the word of truth"; terjemahan TB LAI malah lain lagi: "...berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu."

Menurut Scofield, "rightly dividing the word of truth" itulah yang telah dilakukannya terhadap Kitab Suci (= "the word of truth") sehingga melahirkan skenario dispensasionalisme yang mencakup tujuh dispensasi. Buku pertama Scofield yang ditulis dalam rangka membela dispensasionalisme pra-millennial berjudul Rightly Dividing the Word of Truth (terbit 1928).  

Tujuh Zaman dalam Skenario Dispensasionalisme Scofield

Nama Zaman

Teks Kitab Suci

Tanggungjawab

Hukuman

  1. Ketidaktahuan (Innocency)

Kejadian 1:3-3:6

Memelihara Eden

Kutukan-kutukan

  1. Hati Nurani   

Kejadian 3:7-8:14

Berbuat Baik

Air Bah

  1. Pemerintahan  Sipil         

Kejadian 8:15-11:9

Memenuhi Bumi

Diserakkan dengan Paksa

  1. Pemerintahan Bapak-bapa Leluhur Israel

Kejadian 11:10-Keluaran 18:27

Diam di Tanah Perjanjian

Perbudakan di Mesir

  1. Hukum Musaik

Keluaran 19:1-Yohanes 14:30

Memelihara Hukum

Pembuangan-pembuangan

  1. Anugerah (Zaman Gereja)

Kisah 2:1- Wahyu 19:21

Percaya pada Kristus

Kematian

  1. Millennium 

Wahyu 20:1-15

Percaya & Taat

Kematian

 Tenntu saja skema dispensasionalis Scofield semacam ini bukan muncul dari dalam Alkitab sendiri, tetapi dari luar dibebankan kepada Alkitab. Seorang pengritiknya menyatakan bahwa Scofield telah (ini judul buku si pengritik itu) "Wrongly Dividing the Word of Truth." Sesungguhnya, setiap orang bisa mengajukan pelbagai desain atau skema lainnya, misalnya:

  1. Zaman Nenek Moyang Manusia (Kejadian 1-11), ditandai dengan dua perjanjian: Perjanjian Edenik/Adamik (antara Allah dan Adam) dan Perjanjian Noahik (antara Allah dan Nuh demi seluruh umat manusia sepanjang masa; Kejadian 9:1-17);

  2. Zaman Bapak-bapak Leluhur Israel di Tanah Perjanjian (Kejadian 12-37), ditandai dengan Perjanjian Abrahamik yang dikatakan berlaku turun-temurun selamanya (Kejadian 12:2-3, 7; 13:14-17; 15:5-6, 18-21; 17:1-22; 26:1-6);

  3. Zaman Perbudakan di Mesir (Keluaran 1-13:16), dalam mana Perjanjian Abrahamik dirujuk kembali (Keluaran 2:24; 6:1-7);

  4. Zaman Keluaran (Exodus) dari Mesir dan Pengujian di Padang Gurun, ditandai oleh Perjanjian Sinai (Keluaran 19:3-6) dan pemberian Hukum Musaik yang berlaku sampai masa Yohanes Pembaptis (Lukas 16:16); 

  5. Zaman Kehidupan di Tanah Perjanjian sebagai pemenuhan Perjanjian Abrahamik, dan pada masa kerajaan ditandai dengan Perjanjian Davidik (2 Samuel 7:16); diatur oleh Hukum Musaik dan berita para nabi;

  6. Zaman Pembuangan di Babilonia dan Restorasi/Pemulihan bangsa Israel;  

  7. Zaman Kerajaan Allah dalam pelayanan dan pemberitaan Yesus sebagai pemenuhan Perjanjian Abrahamik (Galatia 3:15-29);  

  8. Zaman Para Rasul dan Gereja sebagai zaman pekerjaan Roh Kudus;

  9. Kedatangan kembali Yesus Kristus dan Akhir Zaman.                

Selain itu, masih ada banyak persoalan dengan skema dispensasionalisme Scofield. Beberapa dapat disebutkan pada kesempatan ini. Tinggalnya keturunan-keturunan Abraham di Mesir (di tanah Gosyen; Kejadian 47:27) dan akhirnya diperbudak di sana, bukanlah hukuman atas ketidaktaatan para Bapak Leluhur Israel kepada perintah Allah untuk mendiami Tanah Perjanjian (bacalah Kejadian 46:2-4). Diam di Tanah Perjanjian bukan saja pernah dialami oleh para Bapak Leluhur Israel pada masa pra-perbudakan di Mesir; tetapi juga dialami bangsa Israel ketika mereka dipimpin para hakim dan kemudian oleh para raja sebagai kerajaan teokratis di dalam mana sebuah perjanjian penting didirikan antara Allah dan raja Daud, yakni Perjanjian Davidik (2 Samuel 7:16), yang berisi janji Allah bahwa kerajaan messianik Yahudi (= kerajaan dengan rajanya diurapi Allah) akan kekal di bumi. Catatan tentang diam di Tanah Perjanjian ini perlu sedikit diperluas.

Diam di Tanah Perjanjian dalam masa pemerintahan raja-raja berlangsung sampai pada masa pembuangan di Babilonia (mulai tahun 587 sM.; pada saat itu Yerusalem dihancurkan, Bait Allah Salomo dibumihanguskan, dan tembok-tembok Yerusalem dirobohkan). Sesudah itu, menyusul, di bawah kekuasaan penguasa baru, Persia, masa Restorasi (sejak 539 sM.), yakni kembalinya sebagian kecil orang Yahudi ke Tanah Perjanjian dari Babilonia untuk membangun kembali kota dan tembok-tembok Yerusalem dan Bait Allah yang sebelumnya oleh raja Nebukadnezar (raja Babilonia) telah dihancurkan. Pembangunan kembali Bait Allah ini berlangsung dari 520-515 sM., dan Bait Allah yang sudah dibangun kembali ini dikenal sebagai Bait Allah II (the Second Temple).  Bait ini kemudian dibangun kembali  besar-besaran  oleh Raja Herodes Agung dan para penggantinya (dari 20 sM-63 M); tetapi pada tahun 70 (enam tahun setelah renovasi besar-besaran itu selesai) dalam Perang Yahudi I (66-70/74 M) Bait Allah Herodian ini diluluhlantakkan oleh pasukan Romawi yang dipimpin Jendral Titus, dan sampai ke zaman Negara Israel Modern masa kini Bait Allah itu tidak atau belum dibangun kembali, malah di atas bekas lokasinya (kawasan Gunung Bait Allah, Temple Mount) kini berdiri bangunan-bangunan suci umat Islam: Mesjid Umar dengan kubah yang berlapis emas (the Dome of the rock) dan Mesjid Al Aqsa  (dibangun setelah Yerusalem/Al Quds ditaklukkan Kalifah Umar tahun 638).

Untuk dapat memahami bagaimana skenario dispensasionalisme pra-millennial bekerja, dispensasionalisme Scofield harus diikuti apa adanya. Pertama-tama mesti diperhatikan bahwa bagi Scofield, semua dispensasi itu ditandai oleh kegagalan-kegagalan manusia. Di dalam Zaman Anugerah/Gereja, juga tidak semua orang menerima tawaran keselamatan yang didatangkan oleh Yesus Kristus; dan mereka yang tidak taat dan tidak percaya ini akan mengalami penghukuman berupa kematian pada permulaan Millennium. Dalam dispensasi keenam ini, bangsa Yahudi diyakini akan berbalik, percaya pada Yesus Kristus, dan, karenanya, mereka akan diselamatkan dan, sebagai akibatnya, akan mengalami restorasi atau pemulihan sebagai suatu bangsa di tanah mereka sendiri.

Perspektif ini disebut  restorasionisme. Tetapi, pada perkembangannya, restorasionisme dimodifikasi dengan melepaskan keharusan pertobatan bagi bangsa Yahudi. Sebagai gantinya, ditekankan bahwa gereja Kristen harus membantu bangsa Yahudi untuk mengalami pemulihan (tanah, etnisitas, mau pun ibadah dan ritus di Bait Allah), kendati pun mereka tidak menjadi Kristen. Ini harus dilakukan demi mempercepat parousia Kristus. Ketika Millennium tiba, barulah mereka (diyakini) akan bertobat, menerima Kristus sebagai sang Messias mereka.    

Harus juga diperhatikan bahwa para dispensasionalist pra-millennial memberi tempat istimewa bagi dispensasi keempat, yakni Zaman Pemerintahan Bapak-bapak Leluhur Israel, dan bagi Perjanjian Davidik (2 Samuel 7:16) yang ditetapkan dalam dispensasi kelima bahwa kerajaan messianik Yahudi yang dibangun raja Daud akan berlangsung kekal. Bagi mereka, segala janji Allah kepada bangsa Yahudi, kepada para bapak leluhur mereka dan kepada raja Daud, akan tetap berlaku sepanjang masa, kekal abadi, kendati pun bangsa Yahudi akan kerap kali gagal memikul tanggungjawab yang Allah berikan. Bangsa Yahudi akan selalu menjadi anak kesayangan, anak emas, Allah. Setiap orang yang mengutuk bangsa Yahudi, akan dikutuk Allah. Masa peralihan dari dispensasi keenam (Zaman Anugerah/Gereja) masuk ke dispensasi ketujuh (Millennium), juga memiliki kekhususan; dan ini akan diuraikan di bawah. 

2.1.2  Perjanjian Abrahamik

Dispensasi keempat sangat penting, karena di dalamnya janji-janji Allah kepada Abraham (yang mengikat seluruh bangsa Israel) diberikan dan diberlakukan kekal, turun temurun:

"Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."  (Kejadian 12:2-3)

"Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya." (Kejadian 13:14-15)

 "Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat: yakni tanah orang Keni, orang Kenas, orang Kadmon, orang Het, orang Feris, orang Refaim, orang Amori, orang Kanaan, orang Girgasi dan orang Yebus itu."  (Kejadian 15:18-19)

 Janji perlindungan menyeluruh oleh Allah atas bangsa Israel (bahwa Allah akan mengutuk orang-orang yang mengutuk Israel; akan membenci orang-orang yang membenci bangsa Israel), dan janji pemberian tanah yang luas, lengkap dengan batas-batas geografisnya, bagi bangsa Israel untuk didiami, oleh kalangan Kristen dispensasionalis pra-millennialis dipandang tidak bisa dibatalkan oleh hal apa pun (termasuk oleh kekeliruan tindakan Negara Israel sekalipun). Janji-janji ini  akan terus dipertahankan dan dipenuhi oleh Allah bagi bangsa Yahudi, baik dulu, maupun ketika bangsa Yahudi (sebelum 1948) masih terserak-serak dan karenanya akan dikumpulkan kembali di Tanah Perjanjian. Mereka menegaskan, Millennium disediakan Allah supaya di dalamnya segala nubuat tentang, dan janji-janji Allah yang diberikan kepada, bangsa Israel terpenuhi harfiah dan material di bumi ini. "Tanda-tanda zaman" bahwa Millennium akan tiba, dan Kristus akan segera datang kembali, akan muncul dari dalam, dan selalu terkait dengan, nasib bangsa Yahudi dan Tanah Israel di Timur Tengah. 

2.1.3 "Replacement Theology" Ditolak   

Menurut kalangan penganut dispensasionalisme pra-millennialis, bangsa Israel sebagai suatu etnisitas bagaimana pun juga tidak bisa digantikan oleh gereja Kristen; "replacement theology" (= teologi yang menyatakan bahwa gereja Kristen, melalui "Perjanjian Baru" yang telah dibuat Allah di dalam Yesus Kristus, telah menggantikan, replacing, bangsa Israel) mereka tolak. Adanya "Perjanjian Baru" yang dibangun Yesus Kristus yang mengikat gereja, tidak membuat "Perjanjian Abrahamik" (janji-janji tentang tanah dan keturunan) dan "Perjanjian Davidik" (janji tentang pemerintahan messianik Yahudi yang kekal di bumi) usang, atau sudah digenapi secara spiritual di dalam Yesus dan gerejanya.

Kitab Suci Ibrani, the Hebrew Bible (Tenakh; yang oleh kekristenan, karena teologi "replacement", dinamakan "Perjanjian Lama") tetap sepenuhnya absah, otentik dan tidak bisa digantikan oleh apa pun, dan banyak nubuat di dalamnya tentang etnis Yahudi dan Tanah Perjanjian, menurut dispensasionalisme, masih menunggu pemenuhannya di zaman modern ini.

Dengan demikian, bagi para dispensasionalist pra-millennial, yang menuruti ajaran John N. Darby, Allah memiliki dua umat yang satu sama lain berbeda: umat yang pertama, bangsa Yahudi, dan, umat yang kedua, gereja Kristen. Ada perbedaan-perbedaan mendasar antara etnis Yahudi dan gereja Kristen yang telah diletakkan Allah dalam karya-karya-Nya bagi bangsa Israel dan bagi gereja Kristen.

Bangsa Israel adalah umat Allah di "bumi": umat ini ber-etnis Yahudi; terikat kuat pada Tanah Perjanjian, yaitu Tanah Israel di bumi sebagai "poros jagat raya" (axis mundi), dan pada Bait Allah di Yerusalem bumi sebagai "tempat" kediaman Allah di bumi; umat ini dipersiapkan untuk kepentingan tujuan-tujuan material Allah "di bumi", yakni tegaknya kerajaan messianik Yahudi di bumi ini, persisnya di Tanah Israel, sesuai dengan Perjanjian Abrahamik dan Perjanjian Davidik (2 Samuel 7:16), dan kerajaan ini berpusat pada Bait Allah dan kota Yerusalem bumi.

Sedangkan gereja Kristen adalah komunitas "sorgawi", komunitas rohani yang dibangun bukan karena ikatan etnis atau ikatan "darah dan daging" apa pun dan juga tidak terikat pada suatu tanah di bumi, melainkan karena ikatan iman kepada Yesus Kristus, melampaui batas-batas etnis apa pun dan geografis teritorial mana pun. Gereja Kristen dipersiapkan untuk tujuan-tujuan "sorgawi", yakni pengangkatan ke sorga, meninggalkan bumi, menerima "tubuh  rohani", dan masuk ke dalam keselamatan kekal adikodrati, di luar dunia dan di luar sejarah.

Dengan demikian, para penganut dispensasionalisme pra-millennial menolak "rohanisasi" atau "spiritualisasi" apa pun atas Israel dan Yerusalem. Bagi mereka, kalau Kitab Suci (PB khususnya) berbicara tentang Israel atau Yerusalem, maka, yang dimaksud Kitab Suci adalah betul-betul etnis Yahudi, betul-betul Tanah Israel (Eretz Israel) dan betul-betul kota Yerusalem material fisikal di bumi. "Yerusalem baru" tidak berada di sorga, tetapi "turun dari sorga" (Wahyu 21:2, 10), ada di bumi ini, pada masa Millennium, di kota Yerusalem di Tanah Israel yang sudah direstorasi, dipulihkan.

Karena bangsa Yahudi sedang terserak-serak di luar Tanah Perjanjian, maka, bagi Darby pada masanya dan bagi para dispensasionalist lainnya, pencarian dan berkumpulnya kembali umat Allah yang di bumi ini, yaitu etnis Yahudi, di Tanah Israel, akan membawa dunia ke dalam Millennium, di dalam mana berkat Abraham akan sampai ke segala muka bumi.  

Perspektif-perspektif yang telah dikemukakan di atas menjadi fondasi-fondasi penting dari Zionisme Kristen yang dianut dan diperjuangkan kalangan Kristen evangelikal dan fundamentalis Eropa dan Amerika masa kini, seperti akan diperlihatkan nanti.

2.2. Zaman Peralihan

Peralihan dari Zaman Anugerah/Gereja masuk ke Zaman Millennium menjadi masa yang sangat penting bagi skema dispensasionalisme pra-millennial. Dalam masa peralihan ini, menurut pandangan ini, akan terjadi siksaan dan kesengsaraan besar dan dahsyat (tribulation) yang "belum pernah terjadi sejak awal dunia, yang diciptakan Allah, sampai sekarang dan yang akan tidak terjadi lagi" (Markus 13:19; Matius 24:21).

Masa Kesengsaaan Besar ini akan melanda bumi selama tujuh tahun. Angka tujuh tahun ini adalah tafsiran literalistik pra-millennialis atas "satu kali tujuh masa" dalam Daniel 9:27; bdk. 9:24, 25; atau tafsiran atas frasa "tujuh puluh kali tujuh masa" dalam Daniel 9:24. Dalam masa tujuh tahun penderitaan hebat ini, Yesus Kristus akan datang kembali untuk "mengangkat ke sorga" (rapture), 1 Tesalonika 4:16-17, gerejanya yang sejati, yakni orang-orang Kristen yang sudah dilahirkan kembali (born-again Christians). Tetapi para pra-millennialist berbeda paham tentang kapan persisnya Yesus akan datang kembali dalam masa tujuh tahun itu untuk mengangkat orang-orang kudusnya ke sorga. Dalam hal ini, dapat dibedakan empat pandangan:

  1. Pengangkatan ke sorga pra-kesengsaraan besar (pre-tribulation rapture);

  2. Pengangkatan ke sorga pasca-kesengsaraan besar (post-tribulation rapture);

  3. Pengangkatan ke sorga di pertengahan masa kesengsaraan besar (mid-tribulation rapture);

  4. Pengangkatan ke sorga pra-kemurkaan Allah (pre-wrath rapture).   

2.2.1 Pengangkatan ke Sorga Pra-kesengsaraan Besar (Pre-tribulation Rapture)

Menurut pandangan ini, "pengangkatan ke sorga" orang-orang Kristen akan berlangsung persis sebelum Masa Kesengsaraan Besar, yaitu ketika Yesus dari sorga datang kembali untuk keduakalinya, secara rahasia dan tiba-tiba. Dengan demikian, gereja tidak ikut mengalami kesengsaraan besar. Setelah masa kesengsaraan besar, yang berlangsung selama tujuh tahun, maka Kristus akan datang kembali dari sorga ke dunia untuk ketigakalinya, kali ini bersama rombongan besar orang Kristen (yang sudah bertubuh rohani), untuk mengalahkan sang Antikristus bersama kekuatan-kekuatan dan lasykar-lasykarnya, lalu Kristus akan kembali mendirikan dan menjalankan pemerintahan Yahudi selama Millennium di mana ia sendiri akan memimpin dunia ini sebagai Messias Yahudi, dengan pusat pemerintahan di Yerusalem bumi.

Posisi pre-tribulationism umumnya dianut oleh para penggagas dispensasionalisme pra-millennialis klasik (John N. Darby, Edward Irving, dan C.I. Scofield); juga oleh para penganut perdana, seperti Lewis S. Chafer dan Charles Ryrie. Bagi mereka, pre-tribulationism adalah suatu eskatologi dispensasional yang normatif, tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan merupakan suatu ciri khas pra-millennialisme dispensasional klasik. Pada masa kini, pendukung dan juru kampanye aktif pandangan pre-tribulationism adalah tokoh-tokoh fundamentalis Zionis Kristen Amerika, seperti Jerry Falwell, Hal Lindsey, Tim LaHaye dan Pat Robertson. 

2.2.2 Pengangkatan ke Sorga Pasca-kesengsaraan Besar (Post-tribulation Rapture)

Dalam pandangan ini, yang dipegang kalangan pra-millennialist non-dispensasionalis, orang-orang Kristen akan mengalami seluruh kesengsaraan besar yang berlangsung selama tujuh tahun itu, masa di mana sang Antikristus memegang kendali pemerintahan dunia. Setelah periode tujuh tahun ini berlalu, Yesus Kristus akan datang kembali dan mengangkat orang-orang Kristen ke sorga. Orang-orang Yahudi baru percaya kepada Yesus sang Messias setelah pengangkatan orang-orang Kristen ke sorga. Posisi post-tribulationism ini dianut antara lain oleh para penulis seperti J. Barton Payne, George E. Ladd, dan R. H. Grundry.  

2.2.3  Pengangkatan ke Sorga di Pertengahan Masa Kesengsaraan  Besar (Mid-tribulation Rapture)

Para penganut mid-tribulationism berpandangan bahwa orang-orang Kristen akan mengalami separuh masa kesengsaraan besar, yaitu kurun waktu yang disebut sebagai "satu masa dan dua masa dan setengah masa" dalam Daniel 7:25 dan Wahyu 12:14, yang ditafsir sebagai masa tiga setengah tahun (= 42 bulan). Di pertengahan masa kesengsaraan besar ini, Kristus akan datang kembali dan mengangkat mereka ke sorga.  

2.2.4 Pengangkatan ke Sorga Pra-kemurkaan Allah (Pre-wrath Rapture)

Pandangan ini (diintrodusir oleh Marvin J. Rosenthal) menegaskan bahwa masa kesengsaraan besar selama tujuh tahun, dibagi tiga bagian, yakni permulaan penderitaan (Matius 24:8), masa kesengsaraan besar (Matius 24:21), dan Hari TUHAN pada saat mana Allah akan menumpahkan seluruh api kemurkaan-Nya atas dunia ini (Matius 24:30-31). Gereja akan mengalami masa kesengsaraan besar ini, tetapi luput dari api murka Allah, sebab pas sebelum kemurkaan ini Yesus Kristus akan telah datang kembali untuk mengangkat orang-orang percaya ke sorga. Pada saat kedatangan kembali Kristus ini, sisa-sisa orang Yahudi yang masih hidup akan dikumpulkan di Tanah Israel dan diselamatkan.

2.3  Zionisme Yahudi-Kristen

2.3.1 Catatan-catatan Sejarah Politis

Zionisme Kristen, sederhananya, adalah dukungan Kristen sepenuhnya terhadap Zionisme Yahudi. Bapak Zionisme Yahudi, Theodore Herzl (seorang agnostik), melalui tulisannya Der Judenstaat (terbit 1896) menyuarakan aspirasi Zionis, yaitu kehendak orang-orang Yahudi Diaspora (yang terserak-serak di Eropa Barat, Eropa Timur dan daerah Balkan) untuk memiliki negeri sendiri. Pada tahun 1897 di dalam Kongres Zionis Dunia I di Basle, Switzerland, cita-cita Zionis dirumuskan dalam suatu seruan agar "kepada orang-orang Yahudi diberikan suatu negeri yang kehidupan publiknya aman dan memiliki kekuatan hukum yang terjamin di tanah Palestina."

Dukungan politik resmi, pertama dan sepenuhnya, terhadap aspirasi Zionisme, datang dari Arthur James Balfour (1848-1930), seorang politikus Inggris terpenting pada zamannya (sebagai Menlu), pada 2 November 1917, ia mendeklarasikan secara terbuka bahwa pemerintah Inggris mendukung "....pendirian suatu Tempat Tinggal Nasional (a National Home) bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina, dan akan berusaha sebaik-baiknya untuk memudahkan tercapainya tujuan ini,...." Deklarasi ini dikenal sebagai Deklarasi Balfour.

Arthur J. Balfour dibesarkan dalam keluarga Kristen evangelikal yang saleh dan sangat bersimpati terhadap Zionisme karena pengaruh ajaran dispensasionalisme John N. Darby yang ditekuninya. Sejalan dengan kepentingan-kepentingan pragmatis politik luar negeri Inggris, posisi dan peran politisnya yang sangat kuat telah dimanfaatkannya untuk menerjemahkan skema dispensasionalisme pra-millennial ke dalam suatu bentuk material yang kongkret, yaitu pendirian a National Home bagi bangsa Yahudi, yang kemudian, pada 1948, terwujud dalam bentuk Negara Israel Modern.

Deklarasi Balfour memberi kepada Zionisme, untuk pertama kalinya, suatu legitimasi politik internasional, dan menjadi pendorong kuat bagi kaum Zionis Yahudi untuk menguasai dan mendiami Palestina, tanpa memperhatikan apalagi memperhitungkan sejumlah, pada waktu itu, 700.000 orang Arab-Palestina yang mendiami tanah itu dimana 10 % di antaranya, pada waktu itu, adalah orang-orang Arab Kristen. Ketidakjelasan yang disengaja atas apa yang dimaksud dengan "a National Home" dalam Deklarasi Balfour - apakah "a Home" ini sinonim dengan suatu negara yang berdaulat, kalau ya di mana batas-batas geografis teritorialnya, apakah teritorinya akan mencakup seluruh wilayah Palestina ataukah sebagian saja dari padanya, atau lebih luas lagi, lalu mengapakah yang disebut hanya tanah Palestina, sedangkan orang-orang Arab-Palestina sebagai penduduknya tidak disebut-sebut, dan bagaimanakah status kota Yerusalem ke depannya- telah menjadi penyebab selalu terhalang dan gagalnya segala perundingan untuk mencapai kedamaian di Negara Israel dan kawasan Timur Tengah umumnya pada masa kini, seperti yang telah diatur dalam The Road Map to Peace yang diprakarsai dan dirancang Amerika Serikat, PBB, Uni Eropa dan Russia.     

Di Amerika Serikat, mendahului gerakan Zionis Theodore Herzl di Eropa, William E. Blackstone, tokoh Kristen Zionis Amerika yang telah disebut di atas, pada bulan Maret 1891 melobi Presiden Amerika Serikat, Benjamin Harrison, dan mengajukan petisi pro-Yahudi yang ditandatangani tidak kurang dari 413 pemimpin Kristen dan Yahudi terkemuka Amerika. Petisi ini, yang kemudian dikenal sebagai Memorial Blackstone, mengajukan suatu solusi atas masalah yang dihadapi bangsa Yahudi:

"Mengapa tidak memberikan kembali tanah Palestina kepada [orang-orang Yahudi]? Sejalan dengan tindakan Allah menyebarkan bangsa-bangsa ke tempat-tempat di bumi, Palestina adalah tempat tinggal orang-orang Yahudi, suatu harta pusaka milik mereka yang dari padanya mereka telah disingkirkan dengan paksa.... Mengapa para pemimpin dunia ini yang di bawah Perjanjian Berlin tahun 1878 telah memberikan Bulgaria kepada orang-orang Bulgaria dan Serbia kepada orang-orang Serbia, sekarang ini tidak memberikan tanah Palestina kepada orang-orang Yahudi?"

Meskipun Presiden Harrison tidak menuruti amanat petisi itu, namun Memorial Blackstone itu telah menjadi sesuatu yang sangat penting dalam mendorong para Zionis Kristen dan Yahudi Amerika untuk aktif selama lebih dari 60 tahun ke muka, sampai berdirinya Negara Israel Modern. Pada suatu rapat besar Zionis Yahudi yang diadakan di Los Angeles pada bulan Januari 1918, dengan sadar Blackstone melandaskan politik Zionisnya ini, yang sudah diperjuangkannya selama 30 tahun, pada keyakinan teologis dispensasionalisme: "[Hal ini saya lakukan] karena saya percaya bahwa Zionisme sejati didirikan atas dasar rencana, tujuan, dan perintah dari Allah yang mahakuasa dan kekal, sebagaimana secara profetis telah dicatat dalam Firman Kudus-Nya, Alkitab."

Karena komitmennya yang dalam pada gerakan Zionisme di Amerika, Blackstone, oleh sahabat karibnya, Louis Brandeis (seorang Hakim Agung Yahudi pertama dalam Mahkamah Agung Amerika Serikat), dinyatakan sebagai Bapak Zionisme: "You are the Father of Zionism as your work antedates Herzl." Bersama-sama dengan Brandeis, Blackstone, sejak pencanangan Memorial-nya, terus bekerja selama beberapa dasawarsa ke muka untuk meyakinkan rakyat Amerika dan khususnya para Presiden Amerika yang secara berkala berganti, untuk mendukung agenda perjuangan Zionisme.                      

Proses politik terus berjalan. Setelah Perang Dunia I berakhir, dan kemenangan berada di pihak sekutu, maka mereka membagi-bagi "tumpeng" Timur Tengah ke dalam "kawasan-kawasan pengaruh" (sphere of influence); dan Inggris mendapat mandat untuk memerintah di tanah Palestina sebagaimana ditetapkan oleh Liga Bangsa-bangsa waktu itu. Deklarasi Balfour pun dilaksanakan. Maka, pada 14 Mei 1948 Negara Israel Modern didirikan, dengan menelantarkan pada waktu itu satu juta orang Arab-Palestina yang terusir dari tanah Palestina.

Inilah awal kemenangan Zionisme, tetapi kehancuran Arab-Palestina, yang bagi kalangan Kristen Zionis dispensasionalis merupakan awal dari serangkaian peristiwa di Tanah Israel yang masih akan terjadi dan tengah dinanti-nantikan, sesuai nubuat para nab; beberapa di antaranya: perluasan wilayah Tanah Israel sehingga mencakup wilayah-wilayah yang lebih luas, seperti yang pernah dikuasai raja Daud dalam sejarah Israel kuno; kembalinya orang-orang Yahudi Diaspora ke Tanah Israel; pembangunan Bait Allah III di kawasan Temple Mount, yang kemudian, menurut perspektif dispensasional, akan diduduki dan dinajiskan oleh sang Antikristus persis sebelum Kristus datang kembali untuk mengangkat gereja Kristen ke sorga; dan perang dahsyat Armageddon. Ini semua akan membawa dan menyeret dunia ke dalam kemelut dan kesengsaraan besar, selanjutnya tibalah pemerintahan Millennium, yang akan didahului oleh kedatangan Yesus Kristus kembali yang akan menegakkan kedaulatan Yahudi atas dunia melalui pemerintahannya di kota Yerusalem. Orang-orang Kristen Zionis di mana pun harus mengupayakan segala hal apa pun untuk semua nubuat ini dipenuhi.    

Dalam Kongres Zionis Dunia ke-27 (1968) di Yerusalem, Zionisme Yahudi dirumuskan dalam lima prinsip: 1) kesatuan orang-orang Yahudi dan keutamaan Negara Israel dalam kehidupan orang-orang Yahudi; 2) berkumpulnya kembali orang-orang Yahudi di negeri historik mereka, Eretz Israel; 3) penguatan Negara Israel Modern; 4) pemeliharaan identitas orang-orang Yahudi; dan 5) perlindungan hak-hak orang-orang Yahudi.

Dua orang Rabbi Yahudi membuat lebih jelas dan tegas, apa itu Zionisme. Rabbi Shlomo Aviner (kutipan 1999) menegaskan "Kita tidak boleh lupa... bahwa tujuan paling utama dari dikumpulkannya kembali orang-orang Yahudi yang terserak-serak di negeri-negeri pembuangan dan pendirian Negara Israel Modern adalah pembangunan Bait Allah. Bait Allah ada di puncak piramida [perjuangan kita]." Hubungan antara teologi dan politik di dalam Zionisme Yahudi dengan gamblang dan tegas dinyatakan oleh Rabbi Yisrael Meida, "Ini adalah suatu perkara kedaulatan. Orang yang mengontrol Gunung Bait Allah, mengontrol Yerusalem. Dan orang yang mengontrol Yerusalem, mengontrol Tanah Israel."

Dari dua pernyataan ini pokok-pokok terpenting dari Zionisme Yahudi kelihatan jelas: menjadikan bangsa Yahudi berdaulat atas Tanah Israel dan kota Yerusalem, dan membangun Bait Allah; semuanya dicapai melalui Negara Israel Modern yang harus terus diperkuat.            

2.3.2  Zionisme Kristen Masa Kini

Berdirinya Negara Israel Modern pada 1948 dipandang kalangan Kristen Zionis sebagai sebetik berita profetis terbesar dalam abad ke-20, suatu kabar tentang pemenuhan terpenting dari nubuat Kitab Suci, antara lain Yeremia 3:14, 18:

"kembalilah, hai anak-anak murtad,...! Aku akan mengambil kamu, seorang dari setiap kota dan dua orang dari setiap keluarga, dan akan membawa kamu ke Zion ... pada masa itu kaum Yehuda akan pergi kepada kaum Israel, dan mereka akan datang bersama-sama dari negeri utara ke negeri yang telah Kubagikan kepada nenek moyangmu menjadi milik pusaka."

"Datang bersama-sama dari negeri utara" ditafsirkan sebagai kembalinya orang-orang Yahudi dari negara-negara Rusia, Polandia, Jerman dan negara-negara lain di Eropa Timur dan daerah Balkan. Yeremia 16:14-15 juga ditafsir kalangan dispensasionalis dari sudut restorasionisme Zionis: "Sebab waktunya akan datang .... Aku akan membawa mereka pulang ke tanah yang telah Kuberikan kepada nenek moyang mereka."

Dalam argumentasi seorang dispensasionalis, kendati pun teks-teks ini pada konteks sejarahnya mengacu pada kembalinya Israel dari pembuangan di Babilonia (abad 6 sM), namun kalau teks-teks tersebut dipandang sebagai "nubuat tentang masa depan", nubuat lintas-zaman, maka sebetulnya teks-teks ini "melihat ke depan, kepada peristiwa-peristiwa yang jauh lebih besar daripada kembalinya orang Yahudi dari Babilonia di bawah pimpinan Zerubabel", yaitu kepada peristiwa pengumpulan kembali orang Yahudi untuk keduakalinya di zaman modern dari segala penjuru dunia, terutama dari negeri-negeri utara. "Negeri pusaka yang Allah telah berikan kepada nenek moyang Israel" yang akan dipulihkan kembali, ditafsir telah digenapi melalui Perang Enam Hari Israel (4-7, 9-10 Juni 1967) dalam melawan Yordania, Suriah, Mesir dan Irak, yang membuatnya menguasai Yerusalem (termasuk Kota Lama Yerusalem), Tepi Barat, Jalur Gaza (Samaria), Dataran Tinggi Golan, dan Sinai.

Menyusul kemenangan-kemenangan spektakuler Israel itu dalam Perang Enam Hari itu, ayah mertua Billy Graham, Nelson Bell, yang pada waktu itu menjadi editor majalah Christianity Today, menyuarakan perasaan-perasaan banyak orang Kristen evangelikal Amerika pada waktu itu, ketika ia, di dalam editorial majalah itu, menulis, "untuk pertama kalinya di dalam kurun waktu lebih dari 2000 tahun Yerusalem kini sepenuhnya berada kembali dalam kekuasaan orang-orang Yahudi; dan fakta ini memberikan suatu kepercayaan yang dibarui dan tergairahkan kepada setiap orang yang mempelajari Alkitab bahwa Alkitab itu benar dan sah."

Perang Enam Hari dilegitimasi dengan penjelasan teologis oleh Zionis Kristen, bahwa: Allah ingin memberikan kepada umat-Nya bagian dari tanah yang tidak mereka terima pada tahun 1948. Hasil dari Perang Enam Hari adalah Yudea dan Samaria, dan Kota Lama  Yerusalem, ibu kota kerajaan Daud, dikembalikan ke pemilik semula.

Pada tahun 1976 terjadi serangkaian peristiwa yang membawa Zionisme Kristen langsu ke kancah politik arus utama Amerika Serikat. Berkat dukungan kalangan sayap kanan (sayap fundamentalis) kaum Kristen evangelikal Amerika, Jimmy Carter terpilih sebagai seorang Presiden yang "lahir baru." Setahun kemudian, di Israel, Menachem Begin dan Partai Likud yang berhaluan politik fundamentalis (sayap kanan) berkuasa. Maka, terbangun suatu koalisi kuat antara para politisi Kanan, kaum Kristen evangelikal, dan para pelobi Yahudi, di Amerika.

Pada tahun 1978, Presiden Jimmy Carter mengakui bahwa kepercayaan pro-Zionis yang dipegangnya telah memengaruhi kebijakan politik Timur Tengahnya; ia menyatakan, antara lain, bahwa Negara Israel adalah "suatu gerak kembali, pada akhirnya, kepada tanah alkitabiah yang dari dalamnya bangsa Israel telah disingkirkan pada beratus-ratus tahun silam. Pendirian Negara Israel adalah pemenuhan dan hakikat sebenarnya dari nubuat-nubuat alkitabiah." Tetapi, ketika Carter mulai ragu terhadap program-program pendudukan yang dengan agresif dilancarkan Partai Likud, dan mengusulkan suatu rencana untuk menciptakan suatu negara merdeka bagi orang-orang Arab Palestina, maka koalisi pro-Israel antara orang-orang Kristen evangelikal  dan orang-orang Yahudi dengan tanpa kasihan mengucilkannya, dan mereka mengalihkan dukungan mereka kepada Ronald Reagan dalam Pemilu 1980.

Ketika Reagan terpilih sebagai Presiden, maka dukungan Amerika kepada Zionisme Yahudi-Kristen bertambah besar dan luas. Pemerintahan Reagan bukan saja suatu pemerintahan yang paling pro-Israel dalam sejarah Amerika, tetapi ia juga memberikan jabatan-jabatan politik sangat penting kepada beberapa orang Zionis Kristen terkemuka. Bukan hanya Reagan, tetapi juga Kepala Departemen Kehakiman Amerika, Ed Meese, Sekretaris Departemen Pertahanan, Casper Weinberger, dan Mendagri James Watt, menganut kepercayaan pra-millenial dispensasional.

Dalam menjalankan pemerintahannya di Gedung Putih, Reagan secara teratur mengadakan seminar-seminar, dengan mengundang orang-orang Kristen Zionis fundamentalis seperti Jerry Falwell, Mike Evans dan Hal Lindsey, untuk berbicara dan mengadakan kontak pribadi langsung dengan para pemimpin nasional dan Kongres.

Sebagai contoh, pada tahun 1982, Reagan mengundang Falwell untuk memberikan suatu pandangan dan pengarahan kepada Dewan Keamanan Nasional mengenai kemungkinan pecahnya perang nuklir melawan Russia. Hal Lindsey juga mengklaim bahwa Reagan telah mengundangnya untuk berbicara perihal perang dengan Russia di depan para pajabat Pentagon. Di dalam suatu percakapan pribadi dengan Tom Dine, seorang pelobi senior Yahudi yang bekerja untuk American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) yang dilaporkan dalam surat kabar The Washington Post, April 1984, Presiden Reagan menyatakan, "Anda tahu, saya berpaling kepada nabi-nabi kuno Perjanjian Lama dan kepada tanda-tanda yang meramalkan Perang Armageddon, dan saya sendiri jadi bertanya-tanya apakah kita ini adalah generasi yang akan melihat semuanya itu terpenuhi. Saya tidak tahu apakah anda belakangan ini juga telah memperhatikan nubuat-nubuat para nabi itu; akan tetapi, percayalah kepada saya bahwa nubuat-nubuat itu menggambarkan masa-masa yang sekarang ini sedang kita jalani."   

Sementara George Bush Sr., Bill Clinton dan George W. Bush, tidak tampak memegang keyakinan dan prapaham pra-millennialisme dispensasional yang dipercayai Jimmy Carter dan Ronald Reagan, mereka tokh tetap mempertahankan, mungkin dengan setengah hati, posisi kuat pro-Zionis para pendahulu mereka. Ini bisa terjadi terutama karena kuatnya pengaruh para pelobi Zionis yang dipandang banyak orang sebagai kelompok paling berkuasa di Amerika Serikat. Seperti telah disinggung di atas, Presiden Bush malah yakin bahwa di balik aksi-aksi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan, yang sempat disebutnya sebagai "crusade" bangsa Amerika, dan terhadap Irak, terdapat rencana dan maksud Allah sendiri  dalam pekerjaan-Nya di dunia ini, yakni untuk menghancurkan "axis of evil." Tiga orang pemimpin Kristen evangelikal fundamentalis, Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Hal Lindsey, yang pada masa pemerintahan Reagan diberi kewenangan untuk berbicara di Gedung Putih untuk menyampaikan visi-visi pra-millennial dispensasional mereka yang menyangkut Negara Israel dan pergolakan politik dan militer di Timur Tengah yang melibatkan negara-negara adidaya dunia, adalah orang-orang yang paling berpengaruh dalam empat dasawarsa terakhir ini dalam memantapkan kebijakan politik luar negeri Amerika untuk tetap pro-Zionis.

Falwell, Pat Robertson dan Hal Lindsey, bersama-sama telah menjadi figur-figur simbolik terkemuka yang mempersatukan para pemimpin Kristen fundamentalis evangelikal yang berpengaruh di Amerika, yang mencakup nama-nama seperti Zola Levitt, Oral Roberts, Mike Evans, Tim LaHaye, Kenneth Copeland, Paul Crouch, Ed McAteer, Jim Bakker, Chuck Missler dan Jimmy Swaggart; adalah para pemuka Kristen pro-Zionis. Mereka membela kepentingan Israel melalui tulisan-tulisan dan siaran-siaran radio dan TV-satelit (network dan cable) mereka.

Para pemimpin Kristen fundamentalis tersebut, bersama dengan organisasi-organisasi pro-Israel yang mereka pimpin, secara rutin dan teratur menjangkau lebih dari 100 juta orang Kristen Amerika, lebih dari 100 ribu pendeta; dan anggaran keuangan mereka, bila digabung, akan mencapai suatu jumlah yang besar,  300 juta USD per tahun. Mereka membentuk suatu aliansi Zionis yang luas, fanatik, besar dan ampuh dalam membentuk dan mengendalikan baik politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah maupun dukungan Kristen menyeluruh bagi Negara Israel.

Hal Lindsey bahkan tanpa ragu menyamakan orang-orang Kristen lain yang anti-dispensasionalisme sebagai pendukung Nazisme yang anti-Semit, karena, mereka, dalam penilaian Lindsey, menyangkal baik jati diri khas maupun masa depan bangsa Yahudi yang di dalam tujuan-tujuan Allah dengan dunia ini diberi tempat istimewa, yang karenanya harus didukung orang-orang Kristen.

Jerry Falwell adalah seorang pendeta dari Thomas Road Baptist Church dan pendiri serta rektor dari Baptist Liberty University, di Lynchburg, Virginia, dengan mahasiswanya berjumlah sekitar 10 ribu orang. Jerry Falwell Ministries mensponsori Jaringan Siaran TV Liberty dan program bersama Old Time Gospel Hour yang disiarkan 350 stasiun TV dan memiliki anggaran sebesar 60 juta USD per tahun. Jerry Falwell juga mendirikan Moral Majority  pada tahun 1979 sebagai bagian dari usahanya untuk menjadikan Amerika bangsa bermoral, yang anti terhadap homoseksualitas, aborsi, pronografi, dan dosa-dosa sosial lainnya (ironisnya usaha-usaha moral ini bertolakbelakang dengan keyakinan dispensasionalismenya yang fatalistik). Seperti umumnya orang-orang Kristen evangelikal, semula Falwell menjauhkan diri dari politik; tetapi ketika tahun 1967, dalam Perang Enam Hari, Israel berhasil merebut dan menguasai kawasan-kawasan lain di Timur Tengah dari negara-negara Arab, Falwell pun, karena yakin melihat tangan Allah bekerja dalam Perang Enam Hari itu, masuk ke dalam dunia politik dan menjadi seorang pendukung yang sangat bersemangat terhadap Negara Zionis.

Pada tahun 1979, pemerintah Israel memberi Falwell sebuah pesawat jet untuk membantunya melaksanakan misinya membela kepentingan Israel. Setahun kemudian, 1980, Falwell menjadi seorang non-Yahudi pertama yang oleh Perdana Menteri Menachem Begin dianugerahi medali Vladimir Ze'ev Jabotinsky, penghargaan untuk mereka yang berjuang bagi keunggulan Zionis. Jabotinsky adalah pendiri Zionisme Revisionis dan berpandangan bahwa orang-orang Yahudi memiliki mandat ilahi untuk menguasai dan menduduki "kedua tepi (barat dan timur) Sungai Yordan" dan tidak bertanggungjawab pada hukum internasional. Dalam bulan Maret 1985, Falwell berbicara di hadapan Majelis Para Rabbi konservatif di Miami dan berjanji akan "memobilisasi 70 juta orang Kristen konservatif bagi Israel."

Pada Januari 1998, ketika PM Israel Benjamin Netanyahu berkunjung ke Washington, yang pertama dijumpainya bukan Presiden Clinton, tetapi Jerry Falwell dan The National Unity Coalition for Israel, suatu perhimpunan lebih dari 500 pemimpin Kristen fundamentalis. Dalam pertemuan itu, orang-orang dalam perhimpunan ini menyanjung Netanyahu sebagai "Ronald Reagan bangsa Israel." Kali ini, Falwell berjanji akan menghubungi 200.000 pendeta dan pemimpin gereja untuk meminta Presiden Clinton mengakhiri tekanannya pada Israel yang mau memaksa negeri Zionis ini taat pada kesepakatan-kesepakatan Oslo ("Declaration of Principles") yang ditandatangani di Washington 13 September 1993.

Dalam suatu wawancara dengan The Washington Post tahun 1999, Falwell menegaskan bahwa Tepi Barat adalah "suatu bagian tidak terpisahkan dari negara Israel." Memaksa Israel untuk menarik diri dari Tepi Barat, kata Falwell, adalah "sama dengan meminta Amerika memberikan Texas kepada Mexico, demi membangun suatu hubungan yang baik. Ini sungguh tidak masuk akal." Falwell telah berhasil, barangkali lebih baik daripada pemimpin Kristen mana pun di Amerika, untuk meyakinkan para pengikutnya untuk mengakui bahwa adalah kewajiban mereka kepada Allah untuk memberikan dukungan tanpa syarat kepada Negara Israel.

2.3.3  Teologi Diterjemahkan ke dalam Aktivitas Politik

Para penganut dispensasionalisme pra-millennial tidak membiarkan teologi atau doktrin mereka tinggal sebagai doktrin saja yang mengapung di awang-awang, melainkan menerjemahkannya ke dalam pelbagai aktivitas politik pro-Israel. Berikut ini suatu tinjauan yang lebih sistimatik atas relasi teologi atau doktrin dispensasionalisme pra-millennial dengan aktivitas-aktivitas politik para penganutnya.  

2.3.3.1 Doktrin: Israel Umat Pilihan Allah

Keyakinan bahwa Israel adalah "umat khusus pilihan Allah" yang tidak bisa dibatalkan (selain teks-teks PL, kerap dirujuk Roma 11:28-29, "... pilihan, mereka [Israel] adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang. ... lah tidak bisa diubah") melahirkan kegiatan-kegiatan politik yang seratus persen pro Israel. Beberapa contoh dapat dikemukakan. Menyusul Perang Enam Hari di tahun 1967, kecuali satu-satunya dukungan dari Amerika Serikat, Negara Israel amat sangat dikucilkan dari komunitas dunia. Hal Lindsey pun meratap,

"Sampai pada Konferensi Madrid 1991, orang-orang Arab "dihimbau" sebanyak empat kali untuk "mentaati", "menghentikan", "mengakhiri", dsb. Tetapi Israel "dituntut", "diperintahkan", dsb., sebanyak tiga ratus lima kali, untuk melaksanakan keputusan Sidang Umum [PBB]. PBB membuat sebanyak 605 resolusi sejak berdirinya sampai Perang Teluk. Dari antaranya, sebanyak 429 atau sebesar 62 persen dari keseluruhan resolusi PBB melawan Israel atau kepentingan-kepentingannya." Maka orang-orang Kristen Zionis pun melihat peran mereka untuk menghibur Israel, dengan mengutip Yesaya 40:1-2, "Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu."

Lalu, Oktober 2000, beberapa hari setelah Ariel Sharon melakukan kunjungann provokatif ke Haram Al-Sharif (kawasan gerbang yang membawa masuk orang ke Gunung Bait Allah, Temple Mount) yang waktunya diatur dengan seksama untuk merongrong pemerintahan Barak yang sedang bernegosiasi dengan Arafat untuk menjadikan Yerusalem sebagai kota milik bersama (perkunjungan ini telah memicu perlawanan intifadah yang kedua), maka iklan muncul di The New York Times dengan judul "Surat Terbuka kepada Orang-orang Kristen Evangelikal, dari Orang-orang Yahudi bagi Yesus [Jews for Jesus -  organisasi orang-orang Yahudi Kristen Amerika]." Di dalam iklan ini, mereka meminta orang-orang Kristen evangelikal untuk menunjukkan solidaritas mereka kepada Negara Israel pada saat-saat kritis ini:

 "Sekaranglah waktunya untuk berpihak kepada Israel. Saudara-saudara di dalam Kristus, hati kami sangat berat ketika kami melihat gambaran-gambaran kekerasan dan pertumpahan darah di Timur Tengah... Rekan-rekan Kristen, "kasih karunia dan panggilan Allah [kepada Israel] itu tidak bisa diubah" (Roma 11:29). Begitu juga, dukungan kita bagi kehidupan dan ketahanan Israel di masa kegelapan ini tidak bisa diubah. Sekaranglah saatnya bagi orang-orang Kristen untuk berdiri di pihak Israel."

Pada tahun 1980 didirikanlah International Christian Embassy Jerusalem (ICEJ), dengan tujuan untuk mengkoordinasikan "kegiatan-kegiatan lobi politik langsung dalam kerja sama dengan pemerintah Israel." Salah satu sasaran utamanya adalah disingkirkannya kantor-kantor PLO di Negara-negara Barat dan dipindahkannya kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem sebagai bentuk pengakuan Amerika atas kedaulatan Israel atas kota Yerusalem. 

Lembaga yang namanya National Unity Coalition for Israel (NUCFI) adalah jaringan Zionis terbesar dan paling berpengaruh yang telah didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1994. NUCFI sekarang ini telah menjadi suatu koalisi besar dari 200 organisasi Yahudi dan Kristen yang berbeda-beda dan otonom, mewakili 400 juta orang anggotanya yang "bertekad bulat untuk menjadikan Israel sebuah negara yang aman." Strategi utama mereka adalah melakukan lobi-lobi kepada media massa dan para politikus mapan papan atas Amerika Serikat, untuk menantang apa yang mereka sebut "disinformasi dan propaganda" yang disebar musuh-musuh Israel dan untuk mengungkapkan "kebenaran tentang Israel." Ke dalam NUCFI telah bergabung tiga organisasi Kristen Zionis terbesar, yaitu Bridges for Peace, International Christian Embassy, dan Christians for Israel. Berkat kekuatan politik para pelobi Zionis, Amerika Serikat setiap tahunnya secara teratur mengikatkan diri untuk memberikan lebih dari tiga milyar USD kepada Israel dalam bentuk pemberian, hutang dan bantuan.

Dukungan finansial kepada Israel juga datang dari Holy Land tours yang dilaksanakan sebagai tanda solidaritas dengan Israel, sekaligus propaganda pro-Israel dalam diri banyak orang Kristen evangelikal. Dua orang pemuka Kristen injili Amerika, Pat Boone dan Jerry Falwell, adalah sekutu-sekutu Israel dalam mempromosikan pro-Israeli solidarity tours. Biro perjalanan ke Israel Friendship Tours milik Falwell, misalnya, memberi kesempatan kepada para peserta untuk bukan hanya bertatap-muka dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintah Israel dan pejabat-pejabat militer, tetapi juga untuk meninjau langsung medan-medan tempur Israel, mengadakan perkunjungan resmi ke instalasi-instalasi dan posisi pertahanan strategis militer Israel, bahkan juga mengalami langsung perang yang dihadapi Israel sebagai sebuah bangsa.

2.3.3.2  Doktrin: Restorasionisme

Orang-orang Kristen Zionis percaya bahwa adalah kehendak Allah untuk orang-orang Yahudi kembali ke Tanah Israel, sebab tanah ini, melalui ikatan perjanjian, telah diberikan Allah kepada keturunan-keturunan Abraham. Terkumpulnya kembali orang-orang Yahudi di Tanah Israel adalah pemenuhan nubuat para nabi PL. Dengan dipulihkannya status mereka sebagai pemilik sah Tanah Israel, maka akan menyusul, pembangunan kembali Bait Allah (sebagai Bait Allah III) yang di dalamnya ibadah dan pemberian kurban-kurban yang diatur dalam Kitab Imamat akan dipulihkan.

Restorasionisme semacam ini melahirkan kegiatan-kegiatan besar untuk memindahkan orang-orang Yahudi Diaspora (selain di Eropa Barat, tidak sedikit yang berdiam di negeri-negeri bekas Uni Sovyet) kembali ke Tanah Israel. Emigrasi (Aliyah = "naik ke" Yerusalem) Yahudi besar-besaran, keluar dari negara-negara Eropa Barat dan Eropa Timur, kembali ke Tanah Israel, sedang berlangsung. Banyak organisasi atau agen perjalanan Kristen Zionis, yang tersebar di Eropa Barat dan Eropa Timur, dengan bekerja sama dengan organisasi-organisasi Yahudi, melaksanakan pemindahan besar-besaran ini, dengan dukungan dana sangat besar yang digali dari gereja-gereja Kristen evangelikal sedunia yang pro-Israel. Mereka mengurus hampir segala-galanya, dari dokumen-dokumen identitas dan perjalanan, transportasi darat, laut dan udara, sampai pada pembelajaran, pelatihan dan pemberian fasilitas-fasilitas dan sarana-sarana untuk hidup baru dan sehat di kawasan-kawasan pemukiman baru di Tanah Israel yang rawan penembakan gelap dan yang bagi para pendatang baru masih asing. Kawasan-kawasan pemukiman baru yang dibuka di tempat-tempat yang sebelumnya dihuni oleh orang-orang Arab Palestina (misalnya kawasan Tepi Barat) ditawarkan untuk "diadopsi", dibiayai dan dipelihara, oleh gereja-gereja Kristen evangelikal pro-Zionis.

2.3.3.3  Doktrin: Tanah Israel Seutuhnya Seperti Yang Dijanjikan

Bagi Zionisme Yahudi dan Kristen yang memakai Kitab Suci sebagai petunjuk dan peta geografis, Tanah Israel, Eretz Israel, yang sah untuk bangsa Yahudi, dalam pandangan mereka, memiliki batas-batas yang jauh lebih luas ketimbang yang sekarang ini sedang diperdebatkan dengan Otoritas Palestina, Syria dan Yordania. Karena itu, orang-orang Kristen Zionis yang terlibat dalam usaha-usaha pemulihan Tanah Israel selalu mendukung dan membenarkan setiap aksi militer yang ingin memperluas batas-batas teritorial Negara Israel. David Allen Lewis, Presiden dari Christians United for Israel,  menempatkan klaim Israel atas teritori mereka dalam konteks yang lebih luas Timur Tengah. Ia menggugat, "Orang-orang Arab telah menguasai 99,5 persen kawasan Timur Tengah ... hal ini tidak bisa dibenarkan." Sudah dikatakan di atas, Perang Enam Hari pada tahun 1967 dipandang kalangan Zionis Kristen sebagai pekerjaan Allah untuk memberikan kepada Israel bagian-bagian tanah yang belum mereka terima pada tahun 1948, ketika Negara Israel didirikan. Bahkan kalangan Zionis mengklaim, bahwa tanah sah untuk bangsa Yahudi akan mencakup kawasan-kawasan yang terbentang dari Sungai Nil di Mesir dan Sungai Efrat di Irak, seperti dijanjikan Allah kepada Abraham.

Sejak 1967, dengan menggunakan pelbagai insentif ekonomis dan perpajakan, dan juga dengan mengacu pada teks-teks Kitab Suci, pemerintah Israel telah berhasil mendorong 400 ribu orang Yahudi untuk mendiami Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan, melalui pembukaan 190 kawasan pemukiman baru yang, dilihat dari hukum internasional, illegal. Organisasi-organisasi Kristen Zionis mendukung penuh, secara politik dan finansial, usaha-usaha yahudisasi terhadap kawasan-kawasan pendudukan yang semula didiami bangsa Arab-Palestina atau atas kawasan-kawasan yang berupa bukit-bukit bebatuan yang kering dan tandus yang belum pernah didiami sama sekali selama ribuan tahun.

Organisasi Jews for Jesus, misalnya, membandingkan pendudukan-pendudukan Israel atas kawasan-kawasan yang semula dimiliki bangsa Arab dengan pendudukan Texas oleh Amerika Serikat. Program-program "adopsi" dijalankan untuk memperkuat kawasan-kawasan pemukiman baru itu. Lembaga Christian Friends of Israeli Communities (CFOIC), yang didirikan Ted Beckett pada tahun 1995, dengan bekerjasama dengan Christian Friends of Israel (CFI), mengklaim telah berhasil menggerakkan 50 gereja di Amerika Serikat, Afrika Selatan, Jerman, Belanda, dan Filipina, untuk mengadopsi 39 kawasan pemukiman baru orang-orang Yahudi.

Melalui program bantuan-bantuan sosial, The International Christian Embassy Jerusalem (ICEJ) menyediakan dukungan finansial dan material terhadap proyek-proyek pembukaan dan pemeliharaan kawasan-kawasan pemukiman baru, termasuk juga program penyediaan rompi-rompi anti peluru untuk memperkuat kemauan para penghuni baru untuk bertahan diam di kawasan-kawasan yang rawan bahaya, yang kerap ditimbulkan oleh apa yang mereka gambarkan sebagai "3 juta orang Palestina yang bermusuhan."   ICEJ juga berhasil menggalang dana sebesar 150 ribu USD untuk membeli sebuah bus anti-peluru yang digunakan untuk memindahkan para pemukim keluar dan masuk dari dan ke kawasan-kawasan pemukiman baru yang dibuka di Tepi Barat dan Efrat. CFOIC meminta orang-orang Kristen untuk berdoa bagi keamanan para pemukim baru Yahudi dan bagi diakhirinya aksi-aksi teroris, dan agar pemberian tanah kepada orang-orang Palestina dihentikan dan, sebaliknya, orang-orang Yahudi makin banyak mendapatkan tanah.

2.3.3.4  Doktrin: Yerusalem Harus Dipertahankan Utuh

Bagi Zionisme Kristen dan Yahudi, kota Yerusalem seluruhnya, yang tidak dibagi-bagi, adalah ibu kota abadi kerajaan Daud dalam zaman PL yang dilanjutkan dalam Negara Israel Modern. Orang-orang Kristen Zionis dengan sangat kuat menolak setiap proposal apa pun yang mau menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Negara Palestina, atau sebagai kota yang dimiliki bersama tiga agama besar. Setelah Perang Enam Hari di tahun 1967, yang membuat Israel dikucilkan masyarakat internasional, orang-orang Kristen Zionis berjuang untuk dunia internasional mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Negara Israel.

Pada bulan Februari 1984, ICEJ mengirim seorang wakilnya, Richard Hellman, untuk berbicara di depan US Senate Committee on Foreign Relations di Washington dan mendesak Amerika Serikat untuk memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel. Falwell dan American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) juga melakukan gerak yang sama. Belakangan, Senator Bob Dole mengajukan suatu rancangan UU kepada Senat, yang kemudian disetujui, yang isinya mengharuskan Kedutaan Besar Amerika Serikat dibangun kembali di Yerusalem pada 21 Mei 1999, dan mengesahkan anggaran 100 juta USD sebagai dana pendahuluan untuk tujuan tersebut. Dalam bulan Oktober 1995 ia menegaskan, "Ibu kota Israel tidak dibicarakan dalam proses perdamaian, dan pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem tidak akan mempengaruhi hasil perundingan-perundingan apa pun di masa depan." Akan tetapi Presiden Amerika Serikat tidak mau mengesahkan/melaksanakan keputusan Senat itu; hal ini disesalkan Dole, dan ia memberikan komentarnya:

Seperti telah berlaku selama tiga ribu tahun, Yerusalem pada masa kini juga adalah hati dan jiwa dari bangsa Yahudi. Kota ini pada masa kini juga, dan harus selamanya, menjadi ibu kota abadi dan tidak terbagi-bagi dari Negara Israel.... Waktunya telah tiba... untuk tidak hanya berbicara di atas kertas, untuk tidak hanya menyuarakan dukungan-dukungan, atau hanya membicarakan keputusan-keputusan Kongres. Waktunya telah tiba untuk melaksanakan UU itu sehingga memungkinkan tercapainya tujuan itu."

Tahun tahun 1997, ICEJ mendukung iklan satu halaman penuh di The New York Times yang berjudul "Orang-orang Kristen Menuntut suatu Yerusalem Yang Dipersatukan." Pernyataan ini ditandatangani sepuluh pemimpin Kristen evangelikal, termasuk Pat Robertson, ketua Christian Broadcasting Netrwork dan Presiden Christian Coalition; Oral Roberts, pendiri dan ketua Oral Robert University; Jerry Falwell, pendiri Moral Majority; Ed McAteer, Presiden Religious Roundtable; dan David Allen Lewis, Presiden Christians United for Israel. Pernyataan mereka berbunyi,

"Kami, yang bertandatangan di bawah ini, para pemimpin spiritual Kristen, yang setiap minggu berkomunikasi dengan lebih dari 100 juta orang Kristen Amerika, menyatakan bangga dapat bergabung bersama dalam mendukung kedaulatan yang tetap dari Negara Israel atas kota suci Yerusalem... kami percaya bahwa Yerusalem, atau bagian mana pun darinya, tidak akan dapat ditawar-tawar lagi dalam proses menuju perdamaian. Yerusalem harus tetap utuh, tidak terbagi, sebagai ibu kota abadi dari bangsa Yahudi."

Pembaca diundang "bergabung bersama kami dalam misi suci kami untuk menjamin bahwa Yerusalem akan tetap tidak terbagi-bagi, sebagai ibu kota abadi Israel." Mereka menegaskan, "Perang untuk mempertahankan Yerusalem sudah dimulai, dan sekaranglah waktunya orang-orang yang percaya pada Yesus Kristus untuk mendukung saudara-saudara Yahudi kita dan Negara Israel. Inilah saatnya untuk kita bersatu dengan orang-orang Yahudi."

Tahun 2002, Falwell mengaitkan serangan teroris terhadap WTC (11 September 2001) dengan klaim Israel sebagai pemilik satu-satunya kota Yerusalem: serangan itu ditujukan untuk melawan Israel dan Zionisme Kristen Amerika. Falwell meminta Presiden Amerika Serikat untuk "Mempertahankan Yerusalem Tetap Bebas."

Para Zionis Yahudi berpandangan bahwa siapa yang mengontrol Yerusalem, mengontrol Israel. Untuk bisa mengontrol Yerusalem, orang harus mengontrol Bait Allah. Karena itu, dalam politik Zionis Yahudi (garis keras), Bait Allah harus dibangun kembali; sebab dari pusat Bait Allah inilah Israel oleh Messias Yahudi yang dinantikan akan dikendalikan melalui ibadah, ritus-ritus kurban dan sistim imamat, seperti pada zaman PL. Bagi para Zionis Kristen, Bait Allah III harus dibangun, karena sudah diramalkan dalam Kitab Suci bahwa persis menjelang kedatangan Kristus kembali, akan datang sang Antikristus yang akan menajiskan Bait Allah Yahudi dan selanjutnya membawa dunia ke dalam kesengsaraan besar Perang Armageddon (visi nabi Yehezkiel tentang Bait Allah yang baru;  Daniel 9:27; 11:31; 12:11; Markus 13:14 dan par.; Wahyu 16:12-16). Bagi mereka, kedatangan kembali Yesus Kristus harus diperjuangkan, dan akan dipercepat jika Bait Allah III dibangun dan ritus-ritus imamat serta kurban-kurban dijalankan (kendati pun ini akan menghancurkan doktrin Kristen mereka tentang pendamaian hanya oleh darah Yesus Kristus!).

2.3.3.5  Doktrin: Bait Allah Harus Dibangun Kembali

Bait Allah harus dibangun kembali, di lokasinya semula, di atas kawasan Temple Mount, karena, bagi Zionis Kristen, pembangunan ini sudah dinubuatkan, dan mereka bersama orang Yahudi, harus memenuhi nubuat itu. Para Zionis melihat persiapan-persiapan pembangunan Bait Allah III sudah dimulai sejak 1967, ketika Israel berhasil menguasai Kota Lama Yerusalem; Bait ini akan menjadi Bait Allah Akhir Zaman.

Karena kawasan Gunung Bait Allah dikuasai Islam, dengan di atasnya, berdiri bangunan-bangunan suci umat Islam (Mesjid Umar, dengan Kubah Emas-nya; dan mesjid Al Aqsa), dan kawasan ini dilarang dimasuki orang Yahudi, maka untuk Bait Allah Yerusalem dapat dibangun kembali dan sistim imamat dan kurban-kurban dapat dihidupkan kembali, kawasan Gunung Allah harus direbut kembali melalui aksi-aksi militer, dan bangunan-bangunan suci Islam yang ada di atasnya harus dihancurkan sampai rata dengan tanah. Zionist Yahudi generasi masa kini berpandangan bahwa adalah tugas mereka membebaskan Gunung Bait Allah sehingga orang-orang Yahudi tidak dihalangi untuk melewati kawasan gerbang-gerbang (Haram Al-Sharif) yang membawa orang masuk ke Gunung ini, lalu melenyapkan bangunan-bangunan kafir yang ada di atasnya, serta mendirikan Bait Allah dan menegakkan bendera Israel di atas Gunung ini.

Hanya dengan perang demi pembangunan Bait Allah, sang Messias akan datang. Antara 1967-1990 sudah terjadi 100 kali serangan terhadap Haram Al-Sharif oleh kelompok-kelompok militant Yahudi; yang tidak sedikit di antaranya didukung oleh kelompok-kelompok Zionis Kristen. Ratusan organisasi Zionis Yahudi dan Kristen telah dan sedang bekerja melakukan persiapan-persiapan yang luas dan mendalam untuk pembangunan Bait Allah III. Dana milyaran USD terus dihimpun dan digalang dari begitu banyak gereja evangelikal di Amerika dan Eropa untuk membiayai semua rencana dan persiapan pembangunan Bait Allah III dan restorasi sistim imamat dan sistim kurban dalam agama Yahudi.

Kerinduan bangsa Yahudi untuk memiliki Bait Allah, harapan-harapan Kristen untuk diangkat ke sorga menjelang masa kesengsaraan besar, dan ketakutan-ketakutan kuat Muslim Arab-Palestina dan Muslim sedunia akan dihancurkannya bangunan-bangunan suci Islam yang berada di Gunung Bait Allah, semuanya ini merangsang munculnya visi-visi apokaliptis tentang kehancuran total tatanan yang ada; dan semua ini, bagi kalangan dispensasionalis, adalah sesuatu yang sudah dinubuatkan: Perang Armageddon.    

2.3.3.6  Doktrin: Mempercepat Perang Armageddon

Setelah runtuhnya komunisme, dalam penglihatan para dispensasionalis, perang Armageddon dalam Wahyu 16:12-16 akan berlangsung dalam bentuk suatu perang antara "peradaban Islam" (negara-negara Arab dan sekutu-sekutu non-Arab mereka) dan "peradaban Kristen" (USA dan sekutu-sekutunya di Eropa mau pun di Asia dan di tempat-tempat lain) yang berlangsung mula-mula di Timur Tengah. Perang ini demikian dahsyat sehingga jikalau Allah "tidak mempersingkat waktunya, maka tidak ada yang akan selamat." Tetapi, orang-orang Kristen pro-Zionisme tidak akan ikut mengalami perang itu, sebab sebelum perang itu terjadi, mereka sudah akan diangkat ke sorga (posisi pre-tribulationism); dan dengan tubuh yang baru tinggal menyaksikan "dari atas" bagaimana bumi diseret ke dalam penderitaan berat sebelum tibanya Millennium dan pemulihan pemerintahan Messias Yahudi di Yerusalem.

Adalah tugas dan panggilan setiap orang Kristen, ini keyakinan para dispensasionalis, untuk mempercepat tibanya perang dahsyat itu, antara lain dengan menolak semua proses menuju perdamaian (the Road Map to Peace) yang sedang diupayakan oleh para pemimpin dunia untuk kawasan Timur Tengah, khususnya dalam rangka mengatasi konflik Israel dan Palestina. Hal Lindsey, misalnya, mengatakan, "Aku sungguh muak memperhatikan bagaimana Presiden Amerika yang Kristen dan bermaksud baik, berbicara tidak hentinya tentang visinya mengenai  suatu negara Palestina yang hidup berdampingan dalam damai dengan negara Yahudi." Bagi para dispensasionalis, perundingan perdamaian bukan hanya telah membuang waktu, tetapi juga suatu pemberontakan melawan rencana-rencana Allah. Sejalan dengan penolakan proses perdamaian itu, kebencian dan satanisasi (demonizing) terhadap bangsa-bangsa Arab, khususnya terhadap Arafat (semasa ia masih hidup), dan juga Saddam, dan pada agama Islam, harus terus ditanamkan ke dalam sanubari setiap orang Kristen yang pro-Israel.

Maka bukan mustahil jikalau suatu "pembersihan etnis" Arab-Palestina dari Tanah Israel juga akan dilakukan. Pada bulan Mei 2002, Dick Army, pemimpin Republican Senate House Majority, menyatakan,

Bagian terbesar dari orang yang sekarang mendiami Israel telah didatangkan dari segala tempat di muka bumi ke negeri ini, dan mereka menjadikannya tempat tinggal mereka. Orang-orang Palestina dapat melakukan hal yang sama [yakni, keluar dari tanah Israel] dan kami akan puas sepenuhnya untuk bekerja sama dengan orang-orang Palestina dalam mewujudkan pemindahan [bangsa Palestina] ini. Kami tidak ingin mengorbankan Israel hanya demi bangsa Palestina memiliki suatu negeri buat mereka.... Saya puas melihat Israel menguasai Tepi Barat.... Ada banyak bangsa Arab yang memiliki beratus-ratus ribu hektar wilayah, tanah, tempat-tempat tinggal, dan kesempatan untuk menciptakan suatu Negara Palestina." 

Ketika Dick Army diminta untuk mengklarifikasi pernyataannya yang kontroversial itu, ia kembali menegaskan bahwa "Saya puas kalau Israel telah berhasil menduduki tanah yang sekarang sedang didudukinya dan kalau orang-orang yang menjadi penyerang-penyerang Israel menyingkir ke suatu daerah lain."

Amerika Serikat bagaimana pun, sebagai satu-satunya adidaya dunia ini, harus tetap dijaga untuk selalu berpihak kepada Israel, kendati pun untuk itu negara adidaya ini harus menggunakan standard ganda dalam semua kebijakan politik, pertahanan dan militernya yang berkaitan dengan dunia Arab Timur Tengah. Jika Amerika Serikat sampai gagal mempertahankan keberpihakannya kepada Negara Israel yang menyebabkan negara ini kalah

dalam melawan bangsa-bangsa Arab, maka negara adidaya AS juga, seperti "dinubuatkan" para tokoh dispensasionalis, akan kena murka Allah, terjatuh dari anugerah, dan mengalami keruntuhan besar-besaran. Kata Falwell, "If Israel falls, the United States can no longer remain a democracy" dan juga, "Kekuatiran terbesar saya adalah bahwa Presiden Bush dengan tanpa diketahuinya sedang membawa Amerika Serikat ke dalam penghukuman Allah. Sebab Allah sudah memperingatkan bahwa Ia akan menghakimi semua bangsa yang telah menyebabkan umat-Nya Israel tersingkir dari tanah yang Ia dengan kuasa-Nya sudah berikan kepada mereka."  Begitu juga, Pat Robertson memberi peringatan, jika Amerika Serikat, "ingin mengintervensi nubuat-nubuat Alkitab dan ingin masuk lalu mengambil Yerusalem Timur dari orang-orang Yahudi lalu memberikannya kepada Yasser Arafat ... maka semoga Tuhan menolong bangsa Amerika.... Jika Amerika Serikat mengambil Yerusalem Timur kembali dan menjadikannya ibu kota Negara Palestina, maka kami meminta supaya murka Allah dijatuhkan ke atasnya." 

3. Pasca-millennialisme

Dalam pasca- (post-) millennialisme, kedatangan kembali Yesus Kristus diyakini akan berlangsung menyusul atau setelah (= pasca) Millennium. Millennium terjadi lebih dulu, kemudian, Kristus datang kembali. Tetapi, dalam pandangan ini, Millennium tidak ditafsirkan harfiah (1000 x 365 hari), melainkan figuratif atau simbolis, yakni mengacu kepada pemerintahan Yesus Kristus yang bertakhta di sorga (Kisah Para Rasul 2:29-36) atas dunia manusia untuk jangka waktu yang panjang (Markus 13:32-37; Lukas 12:37-48). Pemerintahan Kristus ini berlangsung melalui pekerjaan Roh Kudus di dunia. Roh Kudus bekerja baik di dalam dan melalui gereja mau pun di dalam dan melalui sarana-sarana lain di dalam dunia yang dikelola oleh orang-orang yang sudah ditebus, untuk secara bertahap mendatangkan dan mengembangkan Kerajaan Allah di bumi.

Pemerintahan millennial melalui Roh Kristus akan berlangsung untuk jangka waktu yang lama, dalam proses yang mula-mula tidak begitu saja kelihatan, sampai pada kedatangan kembali Yesus Kristus secara fisik ke dalam dunia. Khususnya melalui pemberitaan Injil oleh gereja-gereja sedunia, dan karya penyelamatan yang dikerjakan Roh Kudus, dunia akan dikristenisasikan. Sementara pertobatan berlangsung di seantero bumi, seluruh (atau bagian terbesar) bangsa Yahudi juga akan berpaling kepada dan menerima Yesus Kristus sebagai sang Messias dan, dengan itu, mereka akan menjadi bagian dari gereja universal, umat zaman akhir pilihan Allah, yang membawa berkat bagi dunia. Selama Millennium, pemerintahan Kristus melalui Roh Kudus di bumi tidak hanya berlaku dalam kehidupan spiritual (yakni, kebangkitan spiritual akbar, dan pertobatan seluruh dunia, masuk Kristen); tetapi, menyusul atau bersamaan dengan suatu konversionisme atau pertobatan global ini, pemerintahan ini juga berlangsung di dalam kehidupan-kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Para pasca-millennialist yakin bahwa Roh Kudus akan membawa dunia dan manusia di dalamnya kepada keadaan-keadaan kehidupan yang ditandai kemakmuran dan kesejahteraan sosial-ekonomi, kestabilan dan keadilan serta kedamaian politik dan militer menyeluruh. Selama Millennium, secara bertahap dan sinambung, di bawah kendali Kristus dalam Roh, dunia akan bergerak menuju suatu kesempurnaan dan kekudusan menyeluruh: religius, spiritual, sosial, ekonomis, politis, militer dan ekologis. Kebudayaan Kristen akan ditegakkan di bumi. Pada saat inilah nubuat PL terpenuhi, bahwa "bumi akan dipenuhi dengan pengetahuan akan kemuliaan TUHAN, seperti air menutup lautan" (Habakuk 2:14).

Sesudah masa Millennium ini, yaitu masa panjang kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran dan kesucian di dalam dunia ini, maka Yesus Kristus, dalam wujud fisik, datang kembali ke dalam dunia, lalu membangkitkan orang-orang percaya yang sudah mati, dan melaksanakan penghakiman dan pengadilan terakhir. Para pasca-millennialist mengabaikan gagasan-gagasan dispensasionalis tentang "Pengangkatan ke Sorga" (Rapture) dan "Masa Kesengsaraan Besar" (Tribulation).  

Yang patut diajukan sebagai pertanyaan terhadap para pasca-millennialist adalah: Kapan persisnya Millennium ini dimulai? Mereka memang tidak bisa memberi satu jawaban yang persis. Tetapi, ketika Kebangkitan Besar,  the Great (Spiritual) Awakening, melanda Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad-abad ke-17 dan ke-18, pasca-millennialisme, yang berisi optimisme religius, sosial, politik dan ekonomi, banyak dikotbahkan para penginjil. The Great Awakening itu dilihat sebagai pertanda dimulainya Millennium, yang akan didahului oleh pertobatan massal orang Yahudi Diaspora, masuk Kristen, dan ini akan mendatangkan berkat bagi segala bangsa dan kaum di muka bumi.

Jonathan Edwards (1703-1758) di Inggris, dan juga George Whitefield, misalnya, mempropagandakan keyakinan ini dengan sangat bersemangat. Jauh sebelumnya, pada 1621, Sir Henry Finch, seorang advokat kenamaan dan anggota DPR Inggris, melalui tulisannya juga telah menyebarluaskan keyakinan dan pandangan yang sama, dengan menekankan panggilan kepada orang-orang Yahudi Diaspora untuk menerima Yesus Kristus. Para pembela aliran ini juga mencakup nama-nama J. A. Alexander, Robert Dabney, Charles Hodge, A. A. Hodge, B.B. Warfield, Loraine Boettner and Charles H. Spurgeon.

Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ketika pelbagai bencana politik dan militer yang melanda Amerika Utara dan Eropa, misalnya Perang Kemerdekaan Amerika (1775-1784), Revolusi Perancis (1789-1793), dan Perang-perang Napoleonik (1809-1815), Perang Saudara di Amerika (1861-1865), maka optimisme pasca-millennialis, mulai ditinggalkan. Orang mulai berpaling ke pandangan apokaliptik pra-millennialisme dispensasionalis, yang dipropagandakan dengan sangat bersemangat oleh Edward Irving dan John Nelson Darby dan Plymouth Brethren, dan yang sejak 1862 oleh Darby dibawa masuk ke Amerika Utara.

Di dalam horison pra-millennialisme dispensasionalis ini, di tengah guncangan politik yang dahsyat melanda Eropa, orang pun mulai waspada terhadap kedatangan Antikristus dalam diri tokoh-tokoh insani, dan mengantisipasi tibanya Masa Kesengsaraan Besar dan berkumpulnya kembali orang-orang Yahudi di Tanah Perjanjian. Di Eropa abad ke-19, para pra-millennialist pun banyak berspekulasi, apakah Napoleon Bonaparte yang ateis itu sang Antikristus yang telah datang. Di Amerika Utara, pada tahun 1773, Raja George III digambarkan sebagai sang Antikristus, dan Perang Kemerdekaan dipandang sebagai suatu "perang salib suci" yang akan memulai Millennium.

Pada masa kini, pasca-millennialisme (dengan pelbagai nama lain, misalnya Kingdom Now Theology, atau Dominion Theology atau juga Christian Reconstruction) masih dengan aktif dipropagandakan oleh kelompok-kelompok atau gerakan-gerakan yang, antara lain, menamakan diri Chalcedon Foundation dan Christian Reconstruction.

 

4. A-millennialisme (Non-millennialisme)

Amillennialisme sudah muncul sejak zaman kekristenan perdana; tetapi Bapak gereja Agustinus (354-430) dipandang sebagai orang yang bertanggungjawab menetapkan pandangan ini sebagai pandangan resmi gereja Ortodoks. Sebelum pra-millennialisme menguat di Eropa dan di Amerika pada abad ke-19, pandangan amillennialisme ini sudah dipegang dan diajarkan di lingkungan gereja-gereja Reformed. Gereja Roma Katolik (RK) umumnya mengikuti ajaran Agustinus dan ajaran para reformator; gereja ini pada tahun 1940 sudah resmi menolak pra-millennialisme (pra-millennialisme, ditegaskan oleh gereja RK, "tidak dapat dengan aman diajarkan"), dan juga menolak pemakaian kata "rapture" meskipun tetap mengantisipasi kedatangan kembali Yesus ke bumi dan dikumpulkannya orang-orang percaya pada saat itu.

Para penganut amillennialisme menolak baik pra- maupun pasca-millennialisme. Bagi para amillennialists, Millennium itu tidak ada, baik yang menyusul maupun yang mendahului  kedatangan Yesus Kristus kedua kali.

Kalau para pasca-millennialist mempertahankan bahwa mendahului kedatangan Kristus yang keduakalinya, akan ada masa Millennium (= jangka waktu yang sangat panjang) yang di dalamnya tidak akan ada lagi kejahatan dan keburukan, zaman di dalam mana kebenaran, keadilan, kebaikan, kedamaian dan kemakmuran menguasai segala segi kehidupan manusia; maka para amillennialists, dengan realistis, menegaskan bahwa masa yang semacam itu tidak akan pernah ada di bumi ini, kapan pun juga, baik pada masa sebelum Kristus datang kembali, mau pun pada masa sesudah kedatangannya.

Para amillennialist berpendapat, bahwa sebelum kedatangan Kristus untuk keduakalinya, yang ada adalah masa kehidupan manusia yang berisi sekaligus kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kebatilan, kemakmuran dan bencana, berkat dan kutuk, kejujuran dan kebohongan, kedamaian dan peperangan, sorga dan neraka.

Yang baik dan yang jahat akan terus ada bersama-sama. Allah bekerja, tetapi juga kuasa Satan. Kedua segi yang saling bertolakbelakang ini akan terus ada di dalam Zaman Gereja, zaman sekarang ini, sampai zaman ini tiba-tiba saja berakhir ketika Kristus, tanpa diduga, bak pencuri di malam hari, datang kembali dengan awan-awan di angkasa, lalu "mengangkat" (Rapture) orang-orang yang sudah ditebus ke sorga di mana mereka akan menerima "tubuh-tubuh spiritual" yang tidak akan bisa binasa lagi. Mereka yang percaya, namun sudah mati ketika Yesus datang kembali, akan dibangkitkan, lalu dengan tubuh yang baru juga akan diangkat ke sorga. Bagian terbesar umat manusia, setelah melewati pengadilan akhir yang digelar Kristus pada waktu kedatangannya kembali, akan dilempar ke neraka sebagai  penghukuman abadi. Dunia seperti yang ada sekarang akan ditinggalkan. Sejarah tidak ada lagi, lenyap senyap. Dengan demikian, menyusul  kedatangan Kristus kembali, tidak ada Millennium di bumi ini; yang ada adalah suatu kehidupan yang sama sekali lain, yang berlangsung di sorga. Jelas jadinya bahwa para amillennialist menolak adanya Millennium messianik Yahudi, yang bersifat material, seperti yang dipertahankan para pra-millennialist dispensasionalis.

Dalam pandangan amillennialisme, sekarang sebagai Zaman Gereja Kerajaan Allah sudah hadir melalui pemerintahan Kristus dari sorga, pesan-pesan Alkitab, karya pelayanan gereja, dan pekerjaan Roh Kudus - inilah the good side dari realitas kehidupan dunia. Kehadiran pemerintahan Allah dalam Zaman Gereja ini bukanlah Millennium seperti yang dipahami para penganut pasca-millennialisme. Di dalam Zaman gereja, Kesengsaraan Besar (Tribulation), sebagai the bad side,  juga sedang dialami, sampai pada saat kedatangan kembali Kristus yang waktunya tidak diketahui seorang pun. Tidak seperti dalam pra-millennialisme dispensasionalis yang terus berusaha mengidentifikasi sang Antikristus dalam tokoh-tokoh insani dunia, maka dalam amillennialisme Antikristus dipahami secara figuratif dan simbolik sebagai kuasa-kuasa apa pun di dalam dunia ini yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan, keburukan, ketidakadilan dan kebatilan; jadi, yang diperhatikan bukanlah Antikristus personal, melainkan Antikristus "struktural." Peperangan senantiasa berlangsung, antara kuasa Kristus dan kuasa Antikristus. Perang Armageddon itu kenyataan setiap hari dalam kehidupan orang beriman.

Kejadian-kejadian yang disebut di dalam Kotbah Yesus di Bukit Zaitun, the Olivet Discourse (Markus 13, Matius 24 dan Lukas 21), peristiwa-peristiwa dan  simbol-simbol (angka-angka, binatang-binatang, makhluk-makhluk, benda-benda, nama-nama, dll) yang digambarkan dan dipakai baik dalam Wahyu Yohanes maupun dalam Kitab Daniel sebagai sastra-sastra apokaliptik, oleh para amillennialist dipandang sebagai peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi pada zaman penulisan sastra-sastra ini; dan simbol-simbolnya, bagi para amillennialist, harus ditafsirkan non-literalistik, sebagai betul-betul simbol-simbol dan kiasan-kiasan yang rujukan-rujukan historisnya (siapa, apa dan bagaimana mereka itu) harus ditemukan di dalam zaman-zaman ketika sastra-sastra itu ditulis, bukan di dalam zaman-zaman lain di masa sesudahnya.

Kalau para penganut pra-millennialisme berpendapat bahwa Millennium harus ada sebagai masa dan kesempatan di mana nubuat-nubuat Kitab Suci tentang bangsa Israel akan dipenuhi seluruhnya, maka para amillennialists menegaskan bahwa, seperti halnya dengan nubuat-nubuat lainnya, tidak ada keharusan semua nubuat tentang Israel harus dipenuhi, dan kalau pun harus dipenuhi, pemenuhannya tidak harus di zaman modern ini, melainkan sudah pernah terjadi dulu, di dalam zaman umat Kitab Suci Ibrani.

 

 


 

Oleh

Dr. Iones Rakhmad, 

 

edit by Jappy Pellokila.


 13507863311514619471