LINGKUNGAN HIDUP

TERAS KECERDASAN MANUSIA PENCIPTAAN  MANDAT DARI TUHAN ALLAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP MEMULIS JURNAL MASA DEPAN MANUSIA PERGAULAN-PERSAHABATAN PACARAN dan PERTUNANGAN PERKAWINAN   UU NO 1 TAHUN 1974 KELUARGA  KRISTEN TANGGUNGJAWAB ANGGOTA KELUARGA PERCERAIAN ZIONISME KRISTEN ARAB PRA-ISLAM GURU SEBAGAI KONSELOR SYLABUS MK AGAMA TUGAS DAN PANGGILAN GEREJA FONDASI PENDIDIKAN KRISTEN TAHAP PERKEMBANGAN IMAN



how to track websites
Free Website Translator
 

 

1416277771156062265 

 

LINGKUNGAN HIDUP

 

Oleh

Jappy Pellokila

 

1... orang menambang perak dan tempat orang melimbang emas; 2besi digali dari dalam tanah, dan dari batu dilelehkan tembaga. 3Orang menyudahi kegelapan, dan batu diselidikinya sampai sedalam-dalamnya, di dalam kekelaman dan kelam pekat. 4Orang menggali tambang jauh dari tempat kediaman manusia, mereka dilupakan oleh orang-orang yang berjalan di atas, mereka melayang-layang jauh dari manusia. 5Tanah yang menghasilkan pangan, dibawahnya dibongkar-bangkir seperti oleh api. 6Batunya adalah tempat menemukan lazurit yang mengandung emas urai. 7Jalan ke sana tidak dikenal seekor burung buas pun, dan mata elang tidak melihatnya; 8 binatang yang ganas tidak menginjakkan kakinya di sana dan singa tidak melangkah melaluinya. 9Manusia melekatkan tangannya pada batu yang keras, ia membongkar-bangkir gunung-gunung sampai pada akar-akarnya; 10di dalam gunung batu ia menggali terowongan, dan matanya melihat segala sesuatu yang berharga; 11air sungai yang merembes dibendungnya, dan apa yang  tersembunyi dibawanya ke tempat terang, [Ayub 28:1-11].

 

2 Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; 3 hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. 4 Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar;

5 tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari, 6 yang keluar bagaikan ...  pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya. 7 Dari ujung langit ia terbit, dan ia beredar sampai ke ujung yang lain; tidak ada yang terlindung dari panas sinarnya, [Mazmur 19:2-7].

 

 

Sebelum manusia hadir, alam semesta telah ada. TUHAN Allah menciptakan alam semesta dengan “sungguh amat baik” [Kej 1:1-31] sebagai persiapan untuk kehadiran manusia. TUHAN Allam menempatkan manusia pertama [Adam dan Hawa] di Taman Eden. Kehidupan manusia di Taman Eden mencerminkan dalam lingkungan hidup yang telah dipersiapkan secara khusus.

Di Taman Eden, manusia belajar dan berhasil membangun hubungan yang harmonis dengan sesamanya, lingkungan, flora, fauna. Jadi, ada hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Tercipta hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara manusia-alam. Ketika manusia berdosa, keharmonisan hubungan tersebut menjadi rusak, termasuk lingkungan hidup. Pemberdayaan alam, tidak terbatas pada memenuhi kebutuhan manusia,  melainkan untuk mencapai semua keinginannya. Jika setiap hari [masa, saat, era], pada diri manusia terus menerus muncul berbagai keinginan baru, maka ia pun berupaya untuk mendapatkannya. Dan cara terbaik untuk itu adalah mengambil dari alam, akan tetapi, setelah itu bukan berarti membiarkan alam dalam keadaan rusak dan porak poranda.

Pada umumnya, tiga kategori hubungan manusia-alam atau alam-manusia, yaitu alam harus ditakuti; alam harus ditaklukan; dan menjaga keselarasan alam.

 

Alam harus ditakuti. Relasi manusia-alam seperti ini, muncul karena  kesadaran bahwa dirinya [manusia bersangkutan] hanya merupakan bagian terkecil dari alam semesta; lemah dan tak berdaya; sedangkan alam mempunyai kekuatan dan kuasa yang maha dasyat. Sehingga tidak ada seorang pun mampu menguasai dan menakklukan kekuatan alam tersebut. Bahkan, pada komunitas masyarakat tertentu, memahami bahwa ada bagian-bagian pada alam merupakan pribadi yang harus dihormati; ataupun ada pribadi tertentu yang menguasai alam; ia bisa mencurahkan murkanya jika manusia merusak wilayah kekuasaannya.

Pada konteks komunitas masyarakat alam harus ditakuti, biasanya membangun serta menghasilkan unsur-unsur budaya yang berakar dari relasi tersebut, Misalnya, agama-agama suku asli; salah satu ciri khas masyarakat penganut agama suku adalah berhubungan dengan alam. Mereka memahami bahwa alam [gunung, pohon, hutan, sungai, dan lain-lain] mempunyai penunggu atau penguasa; ia adalah pribadi yang mempunyai kekuatan, bisa marah, memberi berkah,  dan lain-lain. Oleh sebab itu, manusia harus sesering mungkin memberi sedekah kepada para penunggu atau penguasa tersebut; manusia tidak boleh atau dilarang memasuki dan merusak area kekuasaan sang penunggu dan penguasa itu, karena merupakan wilyah suci serta keramat; jika wilayah suci serta keramat tersebut rusak maka manusia akan mengalami berbagai bencana karena amarah sang penunggu atau penguasa alam.

Relasi manusia-alam yang menunjukkan manusia harus takut kepada alam, pada satu sisi, mempunyai nilai pembatasan agar lingkungan hidup tetap terjaga keasliannya. Misalnya, larangan untuk memasuki dan merusak wilayah sekitar gunung, hutan, yang dianggap keramat dan suci, bila melihatnya secara kritis, maka bertemu jika hutan rusak maka akan muncul banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Pada konteks tersebut, ada sikap, tindakan, serta perilaku yang menunjukkan suatu kesatuan erat hubungan manusia-alam. 

Namun, pada sisi lain, karena adanya pembatasan itu, maka manusia cenderung apatis, menyerahkan segala sesuatu pada kebaikan dan kemurahan alam. Manusia hanya menggunakan hal yang tersedia di alam untuk kebutuhan hidup dan kehidupannya. Di samping kecenderungan apatis, relasi ini menghasilkan penyembahan kepada alam atau ciptaan. Manusia memberi sedekah kepada penunggu atau penguasa alam agar mendapat berkah, keselamatan, dijauhkan dari berbagai malapetaka, dan lain sebaginya. Jadi, muncul agama-agama asli yang bersifat animisme, dinamisme, spiritisme, dan totemnisme.

 

Alam harus ditaklukan. Karena TUHAN Allah tidak mencabut kemampuan untuk mengembangkan hidup dan kehidupannya, maka manusia tetap menggunakan mandat menaklukan ciptaan serta memanfaatkannya untuk bertahan hidup. Tujuan menaklukkan alam agar hidup dan kehidupan manusia tetap ada dan terus berlangsung, merupakan sesuatu yang harus terjadi. Manusia tidak bisa hidup dengan tanpa menggunakan segala sesuatu yang ada pada alam. Ketergantungan manusia-alam atau alam-manusia, menjadikan manusia menggunakan hasil alam untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya. Manusia-alam atau lingkungan hidup-manusia, kedua-duanya tak dapat dipisahkan satu sama lain. 

Dan dalam perkembangannya, sebagai upaya menaklukan alam, manusia mengeksploitasi serta mengeksplorasi alam untuk mencapai keingingan dan tujuannya. Dengan kemampuan dan kemajuan yang ada, manusia melakukan eksploitasi dan eksplorasi dalam perut Bumi, di permukaan Bumi, serta di luar Bumi atau alam semesta.  

Sebelum manusia menemukan tekhnologi tinggi untuk masuk ke dalam perut bumi, Alkitab telah mengungkapkan bahwa ada manusia menambang dan menemukan mineral dari dalam Bumi. Mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan yang  jelas dan penuh keteraturan. Oleh sebab itu, untuk menemukan yang dicari dari perut bumi, manusia tidak meninggalkan pelbagai kerusakan dan kehancuran. Akan tetapi, kenyataannya, ketika menemukan apa yang diinginkan misalnya, setelah merambah dalam perut Bumi. Dan akibat dari semua itu, adalah terjadi kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistem.

Demikian juga, eksploitasi dan eksplorasi di permukaan Bumi, misalnya, membendung air sungai; mengambil hasil hutan dan laut; merubah struktur alam dengan pembangunan, dan lain-lain. Semuanya itu, menjadikan Bumi, pada satu sisi tertata baik; namun pada pihak lain, Bumi dibiarkan dalam keadaan yang berantakan karena ketidakpedulian manusia.

Sifat dan sikap egois dan keserakahan, pada umumnya telah mendorong manusia mengeksploitasi alam sehingga keharmonisan ekosistem menjadi terganggu dan rusak. Manusia menjadi lupa [atau pura-pura tidak tahu?] bahwa ulahnya akan menghancurkan lingkungan di mana ia berada. Keteraturan ekosistem menjadi rusak akibat penetrasi manusia. Karena itu, alam bereaksi terhadap tindakan manusia, hingga mengakibatkan kehancuran hidup dan kesengsaraan manusia.

Pada konteks kekinian, pada banyak tempat, terjadi ekploitasi dan eksplorasi terhadap alam [dalam, di atas, dan luar Bumi]. Hal tersebut manusia lakukan dengan tekhnologi sederhana maupun tinggi; memakai perlengkapan atau alat-alat bantu manual dan mekanis [mesin] yang rumit. Kesemuanya itu meninggalkan sampah tekhnologi [sederhana dan tinggi] dan dibiarkan tercecer, sehingga merusak lingkungan, dan ketidakaturan serta ketidaksimbangan ciptaan.    

Kerusakkan dan ketidakseimbangan tersebut, ditambah dengan penggunaan hasil tekhnologi yang tidak ramah lingkungan, berdampak pada [perubahan] iklim dan musim; serta kerusakkan pada alam. Akibatnya, muncul berbagai bencana alam [dan berbagai penyakit] karena kesengajaan struktural serta terencana yang dilakukan manusia. Misalnya, banjir akibat eksploitasi hasil hutan, tanpa reboisasi; gelombang pasang yang mencapai darat, karena tanaman pesisir pantai dirusak; lenyapnya berbagai spesies flora dan fauna karena lingkungan hidupnya dirusak;  naiknya suhu Bumi, akibat pemanasan global, dan lain-lain.

 

Menjaga keselarasan dengan alam. Relasi terbaik manusia-alam pada konteks lingkungan hidup, adalah manusia harus menjaga keselarasan dengan alam. Ada kesadaran pada tiap orang bahwa peran sebagai pemegang mandat dari TUHAN Allah, sekaligus mempunyai tanggungjawab penataan lingkungan hidup dan kehidupan. Kesadaran seperti itu, mungkin hanya ada pada sedikit umat manusia.

Pada sikon tertentu, hubungan manusia-alam, seperti pada budaya dan agama suku, lebih baik dari mereka yang berasal dari masyarakat kota dan industri. Pada penduduk pedesaan dan terpencil, yang menjaga hubungan dengan alam melalui larangan-larangan memasuki wilayah tertentu, paling tidak menunjukkan penataan dan kelestarian lingkungan hidup dan kehidupan. Dengan itu akan tercipta keteraturan ciptaan yang memuliakan TUHAN Allah.

Menurut ajaran agama-agama, kelangsungan alam semesta karena adanya pemeliharaan TUHAN Allah terhadap ciptaan. Namun, Ia telah memberi mandat kepada manusia untuk mengelola dan menata alam semesta. Dan karena mandat tersebut, di samping memunculkan atau adanya kemajuan, manusia pun telah merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, upaya untuk menjaga serta menjaga keselarasan alam merupakan tanggungjawab mereka yang telah merusaknya.

Menjaga dan menciptakan keselarasan dengan alam, sekaligus mencerminkan adanya penatalayanan untuk melanjutkan karya pemeliharaan dan pelestarian atau konservasi alam. Juga memperlihatkan bahwa, manusia [sekarang atau di saat ini] masih mempunyai kepedulian pada generasi yang akan datang. Karena jika generasi masa kini [sekarang] membiarkan lingkungan hidup dalam keadaan berantakan, tidak tertata, rusak, maka bisa dipastikan di era akan datang [setelah hidup dan kehidupan sekarang], hidup dan kehidupan manusia akan menjadi atau semakin sulit. Kesulitan berupa penyakit-penyakit  yang muncul akibat kesalahan menggunakan hasil iptek.

Mungkin ada suatu pemikiran positif dan kepastian harapan bahwa  dengan kemajuan iptek dan modernisasi, manusia mampu dan dapat mengendalikan lingkungan hidup. Namun, itu hanya suatu kemungkinan. Manusia hanya mampu melakukan tindakan-tindakan yang bersifat deteksi dini terhadap datangnya bencana alam yang bersifat alamiah [seperti gempa bumi dan tsunami], bukan meniadakannya. Iptek dan modernisasi hanya memampukan manusia  mengurangi dampak kerusakan akibat bencana-bencana tersebut.  

Manusia diberikan kebebasan untuk berkuasa dan sekaligus mengolah dan menata lingkungan hidup. Semua karya hidup dan kehidupan manusia, dalam hubungan dengan lingkungan hidup, juga merupakan tugas manusia di dunia milik TUHAN. Oleh sebab itu, ia harus melakukan semuanya dengan penuh ketaatan kepada TUHAN Allah. Akan tetapi, agaknya manusia telah memilah-milah  bumi dan menjadikan milik pusakanya,

Upaya menjaga keselarasan dengan alam atau menata lingkungan hidup dan kehidupan dapat dilakukan oleh semua orang, seluruh lapisan masyarakat; bisa dikerjakan oleh semua umat manusia tanpa membedakan perbedaan SARA, tingkat pendidikan, status sosial, dan lain-lain. Upaya itu bisa dimulai dengan hal-hal yang sederhana, misalnya penyediaan tempat sampah di area-area umum dan terbuka; menanam bunga atau pohon di sepanjang jalan raya; membuat taman-taman kota atau menciptakan hutan dalam kota.

Upaya menjaga keselarasan alam, bisa juga dikerjakan dengan tekhnologi tinggi serta pembiayaan yang besar, misalnya, pengelolaan atau daur ulang sampah; mengatur emisi gas buangan mesin-mesin kendaraan bermotor dan pabrik sehingga seminim mungkin mengandung racun; reboisasi hutan daratan dan  pesisir pantai; penataan lingkungan perumahan dan daerah aliran air sungai, termasuk penggunaan hasil iptek yang ramah lingkungan, dan lain sebagainya.

Lalu, di manakah umat beragama? Di mana mereka berperan? Sebagai perusak atau penata lingkungan hidup? Agaknya umat beragama yang menjadi bagian dari masyarakat kota dan industri lah yang paling bertanggungjawab terhadap penataan [ulang] lingkungan hidup.