PACARAN dan PERTUNANGAN

TERAS KECERDASAN MANUSIA PENCIPTAAN  MANDAT DARI TUHAN ALLAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP MEMULIS JURNAL MASA DEPAN MANUSIA PERGAULAN-PERSAHABATAN PACARAN dan PERTUNANGAN PERKAWINAN   UU NO 1 TAHUN 1974 KELUARGA  KRISTEN TANGGUNGJAWAB ANGGOTA KELUARGA PERCERAIAN ZIONISME KRISTEN ARAB PRA-ISLAM GURU SEBAGAI KONSELOR SYLABUS MK AGAMA TUGAS DAN PANGGILAN GEREJA FONDASI PENDIDIKAN KRISTEN TAHAP PERKEMBANGAN IMAN

Stat Counter
how to track websites
Free Website Translator
 

PACARAN

HORMON JATUH CINTA? Pada usia remaja sampai masa pemuda/i terdapat hormon Phenylethy Laminy, secara populer disebut PEA. PEA hanya berumur 3 sampai 28 hari [pada hampir semua jenjang tahun usia], dan berfungsi sebagai pembuat terpesona kepada lawan jenis. [Pada remaja putri, ± 11-12 thn dan untuk putra ± 13-14 thn].PEA mulai bekerja dan membawa perubahan secara hormonal: membuat gembira; terus tersenyum; tekanan darah, suhu tubuh, dan gula darah naik; denyut jantung berdetak lebih cepat, tangan berkeringat; salah tingkah, pengen ketemu; berdebar-debar ketika melihat dia yang membuat terpesona; suka dan menanti tatapannya;merasa cocok hanya karena ia merespons sikap dan senyum;berusaha sekuat mungkin menyenangkan dan menarik perhatian dia yang terus menerus membuat terpesona.  

Selain persahabatan, salah satu bentuk hubungan antara manusia [terutama laki-laki dan perempuan] yang intens adalah pacaran. Pacaran adalah proses seorang laki-laki atau perempuan menemukan adanya kesepadanan antara keduanya, dengan tujuan membangun keluarga; suatu proses untuk saling mengenal antara dua orang [laki-laki dan perempuan]. Karena itu, masa pacaran adalah waktu untuk menemukan [dan   temukan]  pasangan yang tepat dan terbaik agar menjadi suami atau isteri.

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan sosial, budaya, psikologis, dan lingkup pergaulan, maka hakekat pacaran tersebut telah bergeser. Tidak semua masa pacaran berakhir dengan perkawinan. Pada kondisi tertentu, pada satu sisi, pacaran hanya sebagai hubungan sosial yang hampir tidak bermakna dan sekedar mengisi kekosongan; sehingga terjadi berganti-ganti pacar. Namun, di sisi lain, pacaran merupakan suatu proses yang bermakna karena menentukan hidup dan kehidupan selanjutnya. Dengan demikian, pacaran dikategorikan menjadi pacaran gaul [dalam rangka pergaulan] dan pacaran menuju perkawinan.

Pacaran dalam rangka pergaulan. Merupakan pacaran karena memang harus pacaran. Berpacaran, karena alasan yang beragam untuk menjalaninya, misalnya, agar dianggap sudah dewasa; dan juga karena orang lain sudah pacaran, dan saya harus lakukan yang sama; dan hampir tidak ada satupun alasan untuk meneruskan ke jenjang pernikahan. Bisa terjadi atau dilakukan oleh remaja usia belasan tahun; atau bahkan mereka yang sudah mahasiswa. Biasanya hanya merupakan sarana untuk mengisi kebutuhan agar bisa dicintai atau mencintai seseorang atau orang lain [yang bukan anggota keluarga].

Pacaran gaul, pada umumnya karena adanya daya tarik erotis, misalnya wajah cantik atau ganteng, postur tubuh, kesamaan hobi serta minat, dan lai-lain. Sehingga gaya hubungan yang terjadi bersifat kegiatan untuk mengisi waktu luang; pergi berdua; sarat dengan cemburu dan pertengkaran; selalu mau dinomersatukan. Jika ada ketidakcocokkan maka jalan terbaik adalah bubarnya hubungan.

Pacaran menuju perkawinan atau pernikahan. Merupakan membangun relasi [antar lawan jenis] dengan suatu kepastian; biasanya sudah atau telah melewati berbagai pertimbangan yang matang; dan bahkan tidak mementingkan daya tarik erotis atau tampilan fisik tertentu. Karena  adanya tujuan yang pasti tersebut, tidak lagi diisi dengan sekedar hura-hura masa muda, tetapi melakukan pengenalan mendalam tentang kepribadian, keterbukaan, kejujuran serta kesetiaan karena Agape.

Pengenalan kepribadian; menyangkut sifat, sikap, kedewasaan psikologis dan rohani, luasnya wawasan dan sebagainya. Keterbukaan; menyangkut latar belakang status sosial, keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Kejujuran; hampir sama dengan keterbukaan, namun lebih menyangkut kesusaian antara kata dan kenyataan. Kesetiaan; menyangkut ketaatan pada komitmen yang telah dibuat atau disepakati bersama.

Pada saat ini, mementingkan saling pengertian, pengenalan dan penyesuaian kepribadian. Dalam sikon itu, ada batasan yang harus disepakati dan ditaati bersama, misalnya, menghindari sikon yang menjadikan perasaan dan seluruh perhatian hanya ditujukan kepada dia, akibatnya tidak mampu melakukan apapun secara normal dan teratur; menghindari gangguan akademis, hasil ujian jeblok, terganggu kesehatan tubuh dan kesehatan jiwa; tidak terbuai dan tergoda melakukan tindakan-tindakaan seksual atau hubungan seks pra-nikah dan di luar nikah; saling mendorong dalam perkembangan dan pertumbuhan akademis, kedewasaan rohani; dibungkus oleh Agape atau kasih sayang yang sejati.

 

Oleh Jappy Pellokila

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PERTUNANGAN 

Masa pacaran menuju perkawinan biasanya diakhiri atau diteruskan ke jenjang pertunangan [atau langsung ke perkawinan]. Pertunangan merupakan suatu proses pengenalan yang lebih intens (pada berbagai aspek) sehingga memunculkan titik-titik kesamaan (serta menemukan hal-hal beda dab berbeda) pada dua orang (laki-laki dan perempun) sebelum mereka menikah (sebagai suami-isteri, membangun keluarga).

Atau, Pacaran dalam rangka pergaulan. Merupakan pacaran karena memang harus pacaran. Berpacaran, karena alasan yang beragam untuk menjalaninya, misalnya, agar dianggap sudah dewasa; dan juga karena orang lain sudah pacaran, dan saya harus lakukan yang sama; dan hampir tidak ada satupun alasan untuk meneruskan ke jenjang pernikahan. Bisa terjadi atau dilakukan oleh remaja usia belasan tahun; atau bahkan mereka yang sudah mahasiswa. Biasanya hanya merupakan sarana untuk mengisi kebutuhan agar bisa dicintai atau mencintai seseorang atau orang lain [yang bukan anggota keluarga].

Pada proses itu, perlu proses untuk mengetahui apakah ia [laki-laki dan perempuan] adalah jodohku atau bukan, yaitu,

Kasih, agape bukan sekedar eros dan philia. Bukan sekedar cinta karena daya tarik erotis tertentu, melainkan kasih yang mempersatukan dan menyempurnakan. Agape harus terbangun di antara laki-laki dan perempuan yang ingin membangun keluarga. Dalam agape ada kesabaran; tidak cemburu; tidak memegahkan diri dan tidak sombong; kesetiaan; ketulusan; saling menghargai; termasuk tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, dan lain-lain. Agape akan menghantar kedua calon suami-isteri mencapai keterbukaan, ketulusan, dan kesetiaan, saling perhatian, serta meniadakan keegoan, yang nantinya sangat dibutuhkan ketika mereka sudah menjadi keluarga.

Pertimbangan dan persetujuan orang tua. Sesuai UU Perkawinan RI, laki-laki [berumur di atas 19 tahun] dan perempun [berumur di atas 16 tahun] yang akan melangsungkan perkawinan, tidak memerlukan izin orang tua. Akan tetapi, dalam budaya ketimuran [khususnya di Indonesia] masih menghargai peran orang tua pada hidup dan kehidupan anak, sebelum mereka membangun keluarga. Oleh sebab itu, sebagai anak [dan anak-anak], masih membutuhkan pertimbangan dan persetujuan orang tua kedua belah pihak.

Pada lingkungan kebudayaan tertentu di Indonesia, orang tua [bahkan keluarga besar] tetap mempunyai andil cukup besar pada terbentuknya atau tidak suatu perkawinan. Karena, pada konteks itu, perkawinan merupakan pertemuan [menjadikan] dua kelompok keluarga besar dan marga. Sehingga, mereka yang merupakan tetua dan dituakan oleh keluarga besar atau marga patut memberikan persetujuan agar berlangsungnya suatu perkawinan. Dalam kerangka seperti itu, jika mereka [laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan] datang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, maka perlu melakukan suatu proses pengenalan unsur kebudayaan masing-masing, yang menyangkut perkawinan. Orang tua hanya memberi pertimbangan dan persetujuan sekaligus merestui, bukan memaksa dan menjodohkan; mereka tidak boleh menolak sekaligus mengkesampingkan pilihan dan kebebasan anak-anaknya.

Kesepakatan bersama untuk pengabdian kepada TUHAN. Ada nilai religius dalam membangun keluarga. Jika, seseorang [laki-laki dan perempuan] adalah jodohku, maka ia dan aku akan mempunyai komitmen yang sama dalam iman, agama, dan peran-peran spiritual lainnya, termasuk pendidikan iman anak dan anak-anak [jika ada]. Dengan itu, jodoh yang relatif tepat adalah mereka yang seiman atau seagama; satu gereja; mempunyai wawasan dan pandangan yang sama mengenai agama.

Adanya ujian-ujian tertentu yang terjadi dalam rangka mengetahui ia sebagai jodohku. Beberapa langkah-langkah ringan dan sederhana [yang diberikan oleh Walter Trobisch] tentang hal tersebut, antara lain

 

Ujian penghargaan. Menghargai dan memberi nilai tinggi kepada karya dan kepribadian masing-masing pasangan.
Ujian kebiasaan. Pengenalan kepribadian antara saya dan dia, ternyata “ada kebiasan dia yang saya tidak sukai, dan juga ada kebiasaan saya yang dia tidak sukai.” Saya dan dia harus belajar dan berani membuang kebiasaan yang jelek tersebut, untuk mencapai titik temu kebersamaan.
Ujian pertengkaran. Pengenalan antara saya dan dia, kadang muncul salah pengertian-salah dengar-salah janji-tidak tepat waktu, dan lain-lain. Semua itu bisa menimbulkan pertengkaran, tetapi bukan diakhiri dengan kebencian dan dendam, namun memunculkan memaafkan dan menerima maaf, dan juga tidak mengulang kesalahan yang sama.

Jika pada interaksi bersama selama masa pacaran maka akan melahirkan berbagai kesamaan, kecocokan, kesepadanan, apalagi jika ditambah lagi dengan mendapat restu dan persetujuan orang atau, maka diteruskan ke jenjang pertunangan [dan nanti menuju perkawinan atau pernikahan]. Ada beberapa hal penting yang terjadi pada masa pertunangan [yang pada saat ini sudah menjadi trend], antara lain

Masa pertunangan pun bukan sebagai arena uji coba dan penyaluran nafsu seksual; bukan hubungan pra-nikah yang memberlakukan pasangan seperti layaknya suami atau isteri.

Pemeriksaan kesehatan; laki-laki dan perempuan [yang telah atau sudah bertunangan], tidak menutupi riwayat kesehatannya. Pemeriksaan kesehatan penting, karena bisa saja pada salah satu pasangan tersimpan penyakit yang dapat mengganggu perkawinan, misalnya tidak bisa mendapat anak; memunculkan anak-anak dengan kelainan gen dan cacad; adanya potensi ganguan jiwa, dan lain sebagainya. Tidak menutup memungkinan terjadi, bahwa hasil pemeriksaan kesehatan berdampak pada putusnya pertunangan.

Perencanaan tentang hal-hal setelah pesta pernikahan, misalnya tempat tinggal, isteri tetap bekerja atau tidak, jumlah anak, dan seterusnya.

 

Oleh Jappy Pellokila