PERCERAIAN
SELAMAT DATANG
PERCERAIAN
Secara sosiologis, lembaga perkawinan bukan sesuatu yang abadi dan dapat bercerai kapan saja; atau perkawinan hanya bisa tercerai oleh karena maut yang memisahkan suami-isteri. Tetapi, kenyataannya, perceraian terjadi dengan gampang pada semua lapisan masyarakat.
Pada sikon kekinian, banyak hal terjadi dalam masyarakat, yang secara langsung dan tidak, mempengaruhi setiap anggota keluarga. Ketidaksiapan dan ketidaksanggupan menanggapi serta mengatasi setiap permasalahan tersebut, berdampak pada hancurnya keluarga, termasuk putusnya ikatan perkawinan atau perceraian.
Dinamika dalam perkawinan dan keluarga, memunculkan hal-hal membangun, sejahtera, kebahagiaan, dan juga keributan, dan berbagai ancaman terhadap keutuhan keluarga. Ada banyak faktor yang menyumbangkan terputusnya suatu perkawinan, hal tersebut antara lain;
- Kehilangan kasih. Pada umumnnya laki-laki dan perempuan memasuki hidup dan kehidupan sebagai suami-isteri dengan alasan cinta. Namun, cinta tersebut hanya sekedar kata cinta dan tanpa makna mendalam serta ikatan yang kuat. Cinta seperti itu tidak berisi kasih-sayang sejati atau agape. Jika seperti itu, maka suami-isteri mudah kehilangan cinta yang berdampak pada retaknya hubungan mereka, kemudian berujung pada perceraian. Kasih sejati mampu menutup segala bentuk kekurangan dan sebagai pengikat yang mempersatukan suami-isteri sampai maut memisahkan mereka.
- Kekerasan dalam rumah tangga. Merupakan penyebab perceraian yang cukup dominan. Hal tersebut dapat berupa kekerasan orang tua terhadap anak [dan anak-anak]; tindak kekerasan suami terhadap isteri; dan sebaliknya kekerasan isteri terhadap suami; kekerasan mertua terhadap menantu, dan lain-lain. Kekerasan dalam rumah tangga dapat diklasifikasikan pada beberapa kategori, misalnya kekerasan psikologis; kekerasan fisik; kekerasan budaya dan adat; dan juga kekerasan sosial; serta berbagai tindakan, kata-kata, sikap yang bersifat penghambatan dari suami atau isteri sehingga salah satu dari mereka tak dapat mengaktualisasi dirinya serta tidak mempunyai kesempatan mengembangkan talenta dan kepribadiannya, dan lain-lain. Pada umumnya, hampir semua kasus kekerasan dalam rumah tangga [terutama suami terhadap isteri, dan isteri kepada suami] berakhir dengan perceraian.
- Ketidakmampuan menyesuaikan diri. Setiap laki-laki dan perempuan, sebelum mereka menjadi suami-isteri, mempunyai berbagai latar belakang; misalnya, budaya, agama, pendidikan, tingkat dan status sosial, ekonomi, gaya hidup, agama. Ketika masih pacaran dan bertunangan, mereka belajar untuk mencapai kesepadanan dan kesusaian antar keduanya. Akan tetapi, ketika proses tersebut belum mencapai tingkat maksimal atau memadai, mereka sudah menikah dan menjadi suami-isteri. Pada sikon seperti itu, ditambah dengan perkembangan dan pengaruh dari luar keluarga, suami atau isteri terjebak dalam dunianya [sesuai latar belakangnya] sambil tidak mau menyesuaikan diri dengan sikon pasangannya. Jika hal itu, terus menerus terjadi maka semakin lama memunculkan pemisahan dalam berbagai hal yang berujung pada perceraian.
- Ketidaksiapan psikologis dan ketidakmatangan kepribadian. Salah satu syarat utama laki-laki dan perempuan menjadi suami-isteri adalah kedewasaan psikologis. Kedewasaan psikologis, pada umumnya, ditandai dengan kematangan kepribadian, wawasan yang terbuka, mandiri pada saat pengambilan keputusan, tidak manja dan kekanak-kanakan, kestabilan emosi, serta teguh dan komitmen pada keputusan yang telah diambil. Akan tetapi, banyak laki-laki dan perempuan menjadi suami-isteri sebelum mencapai kedewasaan psikologis dan kematangan kepribadian. Akibatnya, suami-isteri tidak mampu merencanakan hidup dan kehidupan keluarga dengan baik; suami-isteri akan terus menerus bergantung [dalam banyak hal] pada orang tuanya [dan anggota keluarga lainnya]; suami-isteri tidak mampu mengatasi mengatasi berbagai konflik kecil di antara keduanya, kemudian mengundang orang ketiga. Kemunculan orang ketiga dalam konflik suami-isteri [apalagi jika orang ketiga tersebut tidak bisa menjadi mediator yang baik dan benar], pada umumnya, hanya mempermudah terjadinya perceraian, bukan mengutuhkan perkawinan.
- Hidup yang monoton. Suami-isteri yang telah lama menjalani hidup dan kehidupan keluarga, kadang-kadang terjerumus ke dalam sesuatu [kondisi hidup dan kehidupan] yang monoton dan membosankan. Akibat, suami-isteri inginkan sesuatu yang bernuansa baru; namun kadang-kadang justru meninggalkan suami atau isterinya. Ada beberapa penyebab utama yang menjadikan hal tersebut,
§ Daya tarik fisik menurun. Penurunan daya tarik dan kemampuan fisik [terutama pada wanita atau isteri] merupakan sesuatu yang normal dan harus terjadi. Namun, seiring dengan itu, pada usia tertentu, ketika isteri atau suami menunjukkan tanda-tanda penurunan daya tariknya; suami maupun isteri berpaling ke laki-laki dan wanita lain karena ingin mendapat yang lebih menarik. Penurunan daya tarik fisik sekaligus berdampak pada berkurangnya kemampuan seksualitas, bisa menjadikan suami maupun isteri mencari penyaluran libidonya kepada [dengan] orang lain. Dan ini merupakan sumbangan tersebar terjadinya perceraian.
§ Tidak ada anak. Banyak hidup dan kehidupan suami-isteri yang tidak mempunyai anak. Walaupun mereka sudah berusaha tapi tidak mendapat anak. Pada kondisi ini, pada umumnya, isteri yang paling dirugikan, ia harus merelakan [walau ada kepedihan] agar suaminya menikah lagi dengan tujuan mendapat keturunan.
§ Kesepian hidup dan kehidupan. Biasanya, pada suami-isteri yang anak-anaknya sudah dewasa dan telah membangun keluarga sendiri, memasuki hari-hari kesendirian dan kesepian. Dengan itu, memudahkan munculnya kebosanan. Tidak sedikit dari pada suami, yang berupaya melarikan diri dari kesepian itu dengan menikah lagi dengan tujuan mendapatkan anak ataupun mendapat hiburan serta teman baru.