TAHAP PERKEMBANGAN IMAN

TERAS KECERDASAN MANUSIA PENCIPTAAN  MANDAT DARI TUHAN ALLAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP MEMULIS JURNAL MASA DEPAN MANUSIA PERGAULAN-PERSAHABATAN PACARAN dan PERTUNANGAN PERKAWINAN   UU NO 1 TAHUN 1974 KELUARGA  KRISTEN TANGGUNGJAWAB ANGGOTA KELUARGA PERCERAIAN ZIONISME KRISTEN ARAB PRA-ISLAM GURU SEBAGAI KONSELOR SYLABUS MK AGAMA TUGAS DAN PANGGILAN GEREJA FONDASI PENDIDIKAN KRISTEN TAHAP PERKEMBANGAN IMAN

Stat Counter
how to track websites
Free Website Translator
 

 

Tahap-tahap Perkembangan Iman


Tahap-tahap Perkembangan Iman

oleh

Opa Jappy

9 Desember 2013 14:02

 

 

 

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat; imana adaa percaya pada sesuatu yang tak nampak, namun yakin bahwa yang tak nampak itu ada. Karena itu, maka ada kesetiaan, penaklukan diri terhadap apa yang diyakini itu ada dan nampak. Selanjutnya, berproses untuk mengikuti apa yang diyakini, sebagai sesuatu yang harus dan mutlak; proses yang cepat, lambat, dan bisa sangat lama, seturut input-input yang datang atau masuk. Dan pada akhirnya akan mecapai kedewasaan iman.

Proses tersebutlah, yang sering disebut tahap-tahap perkembangan iman; semua mereka yang menyebut diri sebagai orang beriman, akan mengalami proses tersebet. Tahapan tersebut adalah

Tahap Pertama: Iman Intuitif/Proyektif. Ini adalah iman sese­orang kira-kira dari usia empat sampai delapan tahun, di mana makna dibuat dan kepercayaan dibentuk secara intuitif dan dengan cara meni­ru. Mengetahui terutama melalui intuisi, dan iman dibentuk dengancara meniru suasana hati, contoh, dan tindakan-tindakan iman orang­orang lain yang penting yang dapat dilihat, terutama orang tua. Tahap pertama adalah saat fantasi dan imajinasi yang bebas di ma­na gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan yang dapat tahan lama (baik yang positif maupun negatif) dibentuk. Fakta dan fantasi belum dibedakan. Akibatnya, simbol-simbol diartikan secara harfiah dan Allah dipikirkan dalam istilah-istilah magis, antropomorfis (sebagai contoh, Allah adalah seorang pria tua yang memiliki janggut yang dapat mela­kukan apa saja). Memori dan kesadaran dirinya mulai timbul, dan kemampuan mengambil peran orang lain (empati) mulai ada.

Tahap Kedua: Mitis-Harfiah. Tahap ini kira-kira terjadi antara usia tujuh atau delapan tahun sampai sebelas atau dua belas tahun. Ta­hap ini adalah tahap iman afiliatif di mana seseorang datang dengan le­bih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok terdekatnya atau komunitas iman. Orang tersebut sekarang datang, dengan antusias, untuk mempelajari "tradisi, bahasa, dan legenda-legenda" komunitas tertentu dan memakai mereka sebagai miliknya sendiri. Membuat makna lebih bersifat linear dan naratif da­ripada bersifat episodik seperti dalam tahap satu. Lingkungan akhir mi­liknya dikonseptualisasikan dalam cerita-cerita dan mite-mite yang di­artilcan secara harfiah (oleh karena itu, nama tahap ini mitis/harfiah). Kehidupan tampak mulai muncul. Penalaran yang melebihi intuisi dapat dilakukan, tetapi penalarannya masih berupa hal-hal kon­lcret yang berhubungan dengan pancaindra, mungkin dengan sedikit abstraksi. Pada tahap ini, iman adalah adalah iman yang bergabung; sese­orang secara sadar bergabung dengan kelompok sosial terdekat, meng­ambil cerita-ceritanya, simbol-simbolnya, mite-mitenya, dan ajaran-ajar­annya, dan memahami mereka secara harfiah. Kata-kata dari orang­orang yang lebih tua yang penting, berkuasa atas kata-kata dari teman­teman sebayanya. Kemampuan empatinya bertambah, tetapi hanya bagi mereka yang seperti kami, yaitu bagi para anggota kelompok terdekat.

Tahap Ketiga: Sintetis - Konvensional. Tahap ini biasanya mulai pada usia sebelas atau dua belas tahun ketika pengalaman seseorang di­perluas melampaui kelompok sosial primer dan keluarga. Tahap ini da­pat berlangsung lama sampai masa dewasa, dan untuk sejumlah orang, tahap ini bertahan hingga ia berkeluarga secara permanen. Pada tahap ini, ia atau seseorang menafsirkan, menghubungkan diri dengan dan membuat makna keluar dari kehidupan sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan kri­teria dari apa yang mereka katakan. Pada tahap bisa juga disebut, tahap konvensionar atau bersifat menyesuaikan diri; di mana seseorang merespons dengan setia pengharapan-pengharapan dan keputus­an-keputusan orang-orang lain; namun belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai identitas miliknya sendiri untuk membuat keputusan-keputusan yang otonom dari per­spektifnya sendiri. Pada tahap ini pun, seseorang secara sadar membagi kehidupan ke dalam seg­men-segmen atau "medan-medan tindakan" yang berbeda. Sekarang ada banyak "mereka-mereka" yang mempengaruhi cara seseorang me­ngetahui dan berhubungan dengan duniakeluarga, sekolah, pekerja­an, gereja, teman-teman sebaya, etos waktu senggang, organisasi-organi­sasi, dan sebagainya. Setiap segmen kehidupan ini mungkin menyedia­kan pelbagai perspektif, pengharapan, dan cara membuat malcna yang berbeda.

Tahap Keempat: Individuatif/Reflektif. Tahap ini biasanya tidak dimulai sebelum usia tujuh belas atau delapan belas tahun, namun ada juga sejum­lah orang, tahap ini muncul hanya pada usia 35 sampai 40 tahun, serta banyak orang dewasa tidak pernah mencapai tahap ini. Peralihan dari tahap ketiga ke tahap keempat sangat penting bagi kesi­nambungan perjalanan iman. Di sini sintesis konvensional tahap ketiga mulai runtuh karena tidak cocok antara dirinya dan pelbagai pengha­rapan konvensional dart "kelompok-kelompok" miliknya yang berbeda. Peralihan ke tahap keempat terjadi ketika seseroang tidak tahan lagi menjadi "orang yang berbeda" pada waktu ada dan bersama kelompok-kelompok yang berbeda.

Tahap Kelima: Iman Konjungtit. Kegiatan iman pada tahap keli­ma, jarang muncul sebelum setengah baya. Paradoks-paradoks yang se­belumnya dihadapi oleh sejumlah strategi pengurangan ketegangan se­karang diterima, diafirmasi dan ketegangan dirnasukkan ke dalam cara "beriman" miliknya. Kehidupan tidak lagi di­lihat dari sudut satu di antara dua, tetapi ada kerelaan untuk hidup ber­sama ambiguitas-ambiguitasnya. Iman tahap kelima menjadikan seseorang memaknai kembali pada pola-pola ko­mitmen dan cara-cara membuat makna masa lampau. Namun, untuk memperoleh kernbali "kebenaran-kebenaran lama" dengan cara yang baru; mengafirmasi secara pribadi kebenaran yang ada di dalarn kebenaran-kebenaran yang lama, mengambil kekuatan mereka, tetapi menolak pembatasan-pemba­tasan mereka. Jadi, jika iman tahap ketiga adalah tahap yang tergantung (depen­dent), tahap keempat adalah tahap yang tergantung pada diri sendiri (self-dependent); maka tahap kelima adalah tahap yang saling tergantung di mana seseorang dapat bergantung pada orang lain tanpa kehilangan kebebasannya

Tahap Keenam: Iman yang Mengacu pada Universalitas. Pada tahap ini, yang terjadi adalah memiliki pang­nan partisipasi langsung yang terus-menerus dalam hal-hal yang po­kok dan membuat perjumpaan dengan yang pokok tersedia bagi orang lain. Ia berada daan berusaha hadir di dunia sebagai sese­orang mengubah (transform) banyak hal pada sikon yang ditemuinya.

Kini, kita, saya, anda lah (dan Tuhan) yang tahu dengan persis sampai jauh mana perkembangan iman diri sendiri; orang lain nyaris tak tak tahu tahapan perkembangan iman pada sesama tau orang lain.

Tetapi, orang akan mudah mengenal dan mengenali sampai segitu perkembangan iman sesamanya tau orang lain melalui atau dari tindakan, aksi, ucapan, dan perilaku, bahkan cara dan tanda yang diperlihtakannya ketik berhubungan masyarakat, alam, dan lain sebagainya.

Jadi, marilah kita berupaya sehingga mencapai kedewasaan iman.

 

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini